Rabu, 11 Mei 2011

Politisasi Ujian Nasional


Politisasi Ujian Nasional
Oleh: Sutrisno Stabat[1]
           
Nasionalisasi ujian akhir hari ini sedang berlangsung untuk tingkat SMA sederajat, yang dimulai dari tanggal 18-21 April 2011 mendatang. Pemerintah dalam hal ini memberlakukan ujian nasional dari tahun ke tahun, sebagai bentuk penilian dan kontrol terhadap peserta didik secara nasional dari tingkat dasar sampai menengah. Sebagai penjelmaan atas amanat Undang-Undang dan kepedulian terhadap pendidikan di negeri ini.
Pasca dikeluarkannya Undang-Undang 32/2004 tentang otonomi daerah yang mengilhami dari pengekangan dan penyeragaman atas daerah pada masa Orde Baru berlangsung, menjadikan daerah memiliki hak seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri secara independen dan bertanggung jawab. Akan tetapi dalam hal ini masih ada pengaturan dan wewenang yang mengharuskan daerah untuk tetap tunduk dan patuh terhadap pemerintah pusat.
Hal ini dapat kita lihat pada pasal 22 UU. 32/2004 yang menyatakan “daerah mempunyai hak dan kewajiban untuk meningkatkan pelayanan dasar pendidikan”. Maksudnya adalah bahwa pemerintah daerah hanya diberi hak untuk melayani pendidikan dan bukan malah menjamin peningkatan mutu pendidikan. Daerah tidak diberi hak untuk menentukan standart mutu pendidikan bagi daerahnya, akan tetapi hanya diberi wewenang sebagai pelayan yang baik bagi masyarakatnya (public service) sebagai upaya untuk meningkatkan good governance.
Setidaknya, ada masalah yang selalu saja berulang-ulang setiap tahunnya. Ujian akhir nasional (UAN) selalu menjadi problem yang seolah-olah tidak pernah habis untuk dibahas di negeri ini. Dimulai dari mekanisme penyelenggaran UAN, standart kelulusan sampai kepada masalah kebocoran soal ujian itu sendiri. Semua masalah tersebut pada dasarnya bersumber dari satu titik masalah yakni politisasi ujian nasional itu sendiri.
Pilihan pemerintah pusat untuk melakukan penyeragaman dan “pengekangan” terhadap pendidikan terutama UAN, menjadikan pemerintah harus memikirkan sesuatu yang sebenarnya bukan menjadi tanggungjawab negara (kalau melihat negara-negara maju), akan tetapi itu merupakan tanggungjawab pemerintah daerah sebagai bentuk dari pelayanan dan penguatan terhadap masyarakatnya. Pemerintah daerah yang telah diberikan keleluasaan oleh pemerintah pusat untuk mengurus dan mengatur daerahnya sendiri seharusnya dijadikan sebagai penentu untuk setiap kebijakan atas kelulusan di setiap daerah dengan cara membuat ujian akhir daerah (UAD).
Kemudian dalam hal ini pemerintah pusat seharusnya hanya sebagai pemandu dan monitoring dari setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah untuk setiap penyelenggaraan ujian akhir daerah (UAD). Yakni, sebagai bentuk dari implementasi preamble UUD 1945 “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Oleh karena itu, politisasi dalam pendidikan harus segera dihilangkan, agar tercipta pendidikan yang mempunyai standart di setiap daerah. Tujuannya adalah menciptakan kontestasi antar kepala daerah untuk meningkatkan mutu pendidikan yang sebaik-baiknya dan ideal seperti yang diharapkan pemerintah pusat.
Menjadi ironis sekarang, ketika politisai pendidikan itu tidak segera dihilangkan. Implikasinya adalah kita akan kembali lagi kepada rezim yang lalu walaupun pemerintahan sudah berubah. Rezim yang tidak menyukai keberagaman dan perbedaan. Akan kah kita mengulanginya kembali? Maka kita sendiri yang memilih dan menilainya. UAN merupakan salah satu bentuk dari penyeragaman diantara pluralitas yang ada, pengekangan dan adanya kewajiban untuk memenuhi standart yang telah ditetapkan dengan ukuran nilai kelulusan yang harus ditentukan selama empat hari. Menjadi hal yang menyedihkan bila sekolah yang berada di pusat kota Jakarta dengan segala kemajuan informasi dan teknologi pendidikannya harus diseragamkan dengan sekolah yang berada di pedalaman papua.
Untuk itu, pemerintah daerah harus mendesak pemerintah pusat agar ujian akhir nasional (UAN) dilakukan dengan standart yang ditentukan oleh pemerintah daerah. Tujuannya adalah agar tidak terjadi ketimpangan dan perbedaan dalam standart kelulusan di setiap daerah. Kemudian, agar pemerintah pusat lebih memfokuskan diri untuk menyelesaikan masalah-masalah nasional yang berkaitan dengan diplomasi, fiskal, pertahanan dan agama.

Ujian Akhir Nasional (UAN) = Untuk Adu Nilai (UAN)
              Dari tahun ke tahun, dapat kita jumpai perubahan yang terjadi pada formula pemerintah dalam menentukan kelulusan. Pemerintah pusat mempunyai wewenang mutlak dalam menentukan setiap kelulusan peserta didik dengan standart yang ditentukan. Nilai menjadi prioritas pemerintah dan bukan malah kualitas peserta didik yang diperhatikan.
Hal inilah yang menjadi streotipe (cara pandang) peserta didik bahwa, nilai adalah tujun yang harus dikejar dan bukan peningkatan kualitas siswa yang menjadi prioritas. Kualitas semakin dikesampingkan dan bukan bakat yang dikedepankan. Menjadi sesuatu yang biasa, apabila kita mendengar ketika para peserta didik yang berada di jenjang pendidikan dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi mengukur kecerdasannya dilihat apabila ia berhasil mendapatkan nilai yang tinggi. Inilah streotipe yang telah berkembang disekitar kita dan harus segera dirubah.
Berbeda dengan negara-negara maju yang lebih mementingkan kualitas peserta didik daripada nilai yang baik. Peserta didik dituntut untuk berpikir mandiri dan berkarya semenjak tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tidak mengherankan ketika kita mendengar Kathryn Gray yang berusia 10 tahun, menemukan supernova (bintang yang meledak) dalam ilmu astronomi, Mark Zuckerberg penemu Facebook yang droup out dari kuliahnya, Alfred Bernhard Nobel yang menemukan dinamit dan lain-lain. Semua berawal dari ketertarikan mereka terhadap minat dan bakat yang harus dikembangkan, yang kemudian difasilitasi oleh negara. Hal inilah yang menjadikan negara-negara maju berhasil dalam mendidik para siswa-siswinya. Bakat menjadi ukuran pertama dan bukan nilai yang menjadi tujuan mereka.
Oleh karena itu, UAN diharapkan bukan hanya dijadikan sebagai salah satu standart pemerintah dalam menentukan kelulusan. Akan tetapi yang lebih penting adalah menanamkan kepada peserta didik untuk kreatif dan aktif menggali bakat mereka yang sudah tertanam pada diri setiap manusia, untuk dikembangkan dan dijadikan sebagai prioritas utama dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Sudah saatnya pendidikan yang berbasis pada standart nilai harus dihilangkan, diganti dengan pendidikan yang berbasis kepada kualitas dan bakat para siswa-siswi untuk bisa menjadikan mereka calon-calon penerus masa depan bangsa yang berprestasi dan unggul dibidangnya dengan fasilitasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan pusat tentunya.

Kesimpulan
Ujian Akhir Nasional (UAN) merupakan penyelenggaraan pemerintah dalam bentuk kontrol terhadap pendidikan di negeri ini. Ia merupakan penentu dari proses belajar mengajar selama tiga tahun. Dengan berbasis kepada standart kelulusan dengan nilai yang telah ditentukan, maka para siswa-siswa mengalami suatu cara pandang yang mengharuskan dirinya untuk mencapai standart yang sudah ditentukan. Oleh karena itu, UAN bukan menjadi jawaban atas setiap masalah pendidikan. Akan tetapi ia lebih merupakan salah satu bentuk pembiaran pemerintah dengan alasan meningkatkan mutu pendidikan dengan standart nilai yang sudah ditentukan. Untuk itu, standart nilai kelulusan harus diberikan kepada daerah sebagai bentuk dari amanat UU. 32/2004 dan preamble UUD 1945. Untuk itu, pemerintah pusat dan daerah harus lebih meningkatkan kerjasama dengan cara mengelola Ujian akhir nasional (UAN) digantikan dengan Ujian akhir daerah (UAD). Sebagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di setiap daerah yang kemudian dapat berimplikasi terhadap daya saing dengan daerah yang lain, terutama dengan negara-negara yang sudah maju dalam hal mutu pendidikan.



                [1] Mahasiswa Pascasarjana Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Dan aktif dalam lembaga kajian Center for Learning Education and Democracy (Center for Lead)  Yogyakarta.

Fenomena Kutu Loncat


Fenomena “Kutu Loncat”

Oleh: Sutrisno Stabat[1]

Pembicaraan seputar ideologi politik kembali muncuat ke permukaan, ketika ada fenomena hengkangnya sebagian para aktor dari partai politik yang telah mendidik dan membesarkan namanya. Paling tidak, hal ini dapat kita telaah secara filosofis bahwa “tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan”. Prinsip inilah yang “mungkin” bisa menjelaskan hengkangnya para aktor politik yang berpindah dari satu parpol ke parpol yang lainnya. Memang tidak ada jawaban pasti dalam dunia politik, semua bisa terjadi dan bahkan yang tidak terpikirkan oleh kita sekalipun.
 Sebut saja Dede Yusuf yang menjadi wakil gubernur Jawa Barat yang menjadi kader PAN, Gamawan Fauzi yang di usung PDI-P saat menjadi gubernur Sumatera Barat, Muhammad Zainul Madji selaku gubernur Nusa Tenggara Barat yang di usung partai Bulan Bintang (PBB) dan gubernur Sulawesi Utara Sinyo Harry Sarundajang yang di usung juga oleh PDI-P . Mereka hengkang dari partai semula dan berpindah ke partai Demokrat. Kemudian, ada Ali Mochtar Ngabalin yang dahulunya berasal dari partai Bulan Bintang (PBB) kemudian loncat ke partai Golkar. Permadi, SH yang berasal dari partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) juga loncat ke partai Hanura dan Fuad Bawazier yang sebelumnya bergabung di PAN, kemudian loncat ke partai Hanura dan menjadi dedengkotnya di sana. Tentu masih banyak lagi bila diruntut lebih jauh lagi.
Untuk melihat fenomena kutu loncat ini, maka pertanyaan yang muncul kemudian bagaimana menjelaskan fenomena kutu loncat ini dan apa implikasinya terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia ke depan ?
Dalam perspektif teori Alderfer (1972), setiap orang mempunyai kebutuhan yang tersusun secara hirarki menjadi tiga bagian, yakni kebutuhan eksistensi, kebutuhan keterkaitan dan kebutuhan pertumbuhan. Untuk itu penting sekali dalam hal ini sebuah tindakan dan perilaku politik dalam fenomena kutu loncat ini akan menjelaskan realitas yang terjadi.
Pertama, kebutuhan eksistensi merupakan kebutuhan untuk selalu eksisten/ada. Dimana pasca reformasi dengan hadirnya pemilihan yang multipartai semakin mengindikasikan dan menguntungkan mereka untuk loncat atau malah membuat partai baru untuk menyatakan bahwa mereka masih tetap eksis dan memiliki tujuan yang sama yakni mendapatkan kekuasaan. Akan tetapi ada konskwensi yang ditimbulkan yakni semakin hilangnya hal-hal yang bersifat ideologis. Hadirnya mereka ke parpol yang lain atau malah membuat parpol yang baru merupakan hasil dari kurang dihargainya atau malah teralienasinya mereka dari parpol sebelumnya.
Hal inilah yang kemudian ‘mungkin’ dapat menjelaskan bagaimana kutu loncat itu hadir. Mereka hadir atas adanya proses konstruksi yang matang dan adanya perhitungan untung rugi yang telah mereka pikirkan sebelumnya. Hal inilah yang kemudian akan berimplikasi kepada faktor loyalitas dan ideologi politik tidak menjadi penting lagi. Dengan semakin menurunnya faktor ideologi maka, akan mengakibatkan menurunnya fanatisme dan gagasan dari konstituennya. Penjelasan kemudian tentang mengapa praktek konsumerisme dan pragmatisme para aktor politik semakin akut dan menjadi-jadi yakni; karena mereka mendasarkan parpol tidak lagi berdasarkan atas ideologi yang mengakar pada aktor politik tersebut, akan tetapi mereka hanya mendasarkan pada upaya bagaimana mencapai kemenangan dan merebut kekuasaan yang telah ada tanpa ideologi yang utama.
Kedua, kebutuhan keterkaitan merupakan kebutuhan untuk senantiasa berkaitan dengan interaksi sosial terhadap kekuatan-kekuatan politik yang ada. Upaya partai politik untuk meminang aktor-aktor potensial yang menjadikan mereka kadernya tanpa harus melalui proses pengkaderan merupakan sesuatu yang wajar pasca reformasi. Tujuanya adalah bagaimana memenangkan persaingan pada saat pemilihan dengan meminang aktor-aktor partai politik yang lain dengan konkwensi adanya pemberian jabatan/kekuasaan yang akan di dapatkan tanpa harus melalui proses pengkaderan. Hal inilah yang kemudian berimplikasi kepada hadirnya manuver politik para aktor untuk meloncat dari partai satu ke partai yang lain karena adanya tawaran politis yang menggiurkan aktor tersebut dalam memudahkan dirinya meraih kekuasaan.
Ketiga, kebutuhan pertumbuhan merupakan hal yang bersumber dari daya kreatif dan produktif para aktor politik tersebut. Mereka dituntut untuk produktif dan kreatif dalam mengelola partai sebagai representasi dari konstituennya. Akan tetapi, fenomena yang muncul kemudian partai politik tumbuh dan berkembang dalam masa-masa menjelang pemilu berlangsung. Partai politik tidak lagi mengadakan kadarisasi, edukasi dan pemantapan ideologi partai yang sebenarnya merupakan ruh dari partai itu sendiri. Tersendatnya saluran fungsi politik menjadikan para aktor dan kader politik mencari jalan lain dengan loncat ke partai yang lain sebagai bentuk dari legitimasi para aktor untuk melakukan daya kreatif dan lebih produktif di partai yang lain.
Akhirnya, fenomena kutu loncat merupakan bentuk dari kesadaran dari para aktor politik dan juga merupakan bentuk pengabaian partai politik sebagai salah satu pilar dari demokrasi. Partai politik tidak lagi mengedepankan ideologi partai sebagai ruh dari perjuangan partai. Akan tetapi lebih mengedepankan semangat bagaimana memenangkan kompetisi pada saat pemilihan berlangsung, dengan cara meminang para aktor politik yang potensial dari partai lain yang dijadikan sebagai icon baru partai. Hal ini bertujuan untuk mendulang suara dan mencapai kekuasaan yang ada tanpa memikirkan ideologi partai dan para kader partai yang sudah antri sebelumnya.



[1] Mahasiswa Pascasarjana Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Dan aktif dalam lembaga kajian Center for Learning Education and Democracy (Center for Lead)  Yogyakarta.