Politisasi Ujian Nasional
Oleh: Sutrisno Stabat[1]
Nasionalisasi ujian akhir hari ini sedang berlangsung untuk tingkat SMA sederajat, yang dimulai dari tanggal 18-21 April 2011 mendatang. Pemerintah dalam hal ini memberlakukan ujian nasional dari tahun ke tahun, sebagai bentuk penilian dan kontrol terhadap peserta didik secara nasional dari tingkat dasar sampai menengah. Sebagai penjelmaan atas amanat Undang-Undang dan kepedulian terhadap pendidikan di negeri ini.
Pasca dikeluarkannya Undang-Undang 32/2004 tentang otonomi daerah yang mengilhami dari pengekangan dan penyeragaman atas daerah pada masa Orde Baru berlangsung, menjadikan daerah memiliki hak seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri secara independen dan bertanggung jawab. Akan tetapi dalam hal ini masih ada pengaturan dan wewenang yang mengharuskan daerah untuk tetap tunduk dan patuh terhadap pemerintah pusat.
Hal ini dapat kita lihat pada pasal 22 UU. 32/2004 yang menyatakan “daerah mempunyai hak dan kewajiban untuk meningkatkan pelayanan dasar pendidikan”. Maksudnya adalah bahwa pemerintah daerah hanya diberi hak untuk melayani pendidikan dan bukan malah menjamin peningkatan mutu pendidikan. Daerah tidak diberi hak untuk menentukan standart mutu pendidikan bagi daerahnya, akan tetapi hanya diberi wewenang sebagai pelayan yang baik bagi masyarakatnya (public service) sebagai upaya untuk meningkatkan good governance.
Setidaknya, ada masalah yang selalu saja berulang-ulang setiap tahunnya. Ujian akhir nasional (UAN) selalu menjadi problem yang seolah-olah tidak pernah habis untuk dibahas di negeri ini. Dimulai dari mekanisme penyelenggaran UAN, standart kelulusan sampai kepada masalah kebocoran soal ujian itu sendiri. Semua masalah tersebut pada dasarnya bersumber dari satu titik masalah yakni politisasi ujian nasional itu sendiri.
Pilihan pemerintah pusat untuk melakukan penyeragaman dan “pengekangan” terhadap pendidikan terutama UAN, menjadikan pemerintah harus memikirkan sesuatu yang sebenarnya bukan menjadi tanggungjawab negara (kalau melihat negara-negara maju), akan tetapi itu merupakan tanggungjawab pemerintah daerah sebagai bentuk dari pelayanan dan penguatan terhadap masyarakatnya. Pemerintah daerah yang telah diberikan keleluasaan oleh pemerintah pusat untuk mengurus dan mengatur daerahnya sendiri seharusnya dijadikan sebagai penentu untuk setiap kebijakan atas kelulusan di setiap daerah dengan cara membuat ujian akhir daerah (UAD).
Kemudian dalam hal ini pemerintah pusat seharusnya hanya sebagai pemandu dan monitoring dari setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah untuk setiap penyelenggaraan ujian akhir daerah (UAD). Yakni, sebagai bentuk dari implementasi preamble UUD 1945 “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Oleh karena itu, politisasi dalam pendidikan harus segera dihilangkan, agar tercipta pendidikan yang mempunyai standart di setiap daerah. Tujuannya adalah menciptakan kontestasi antar kepala daerah untuk meningkatkan mutu pendidikan yang sebaik-baiknya dan ideal seperti yang diharapkan pemerintah pusat.
Menjadi ironis sekarang, ketika politisai pendidikan itu tidak segera dihilangkan. Implikasinya adalah kita akan kembali lagi kepada rezim yang lalu walaupun pemerintahan sudah berubah. Rezim yang tidak menyukai keberagaman dan perbedaan. Akan kah kita mengulanginya kembali? Maka kita sendiri yang memilih dan menilainya. UAN merupakan salah satu bentuk dari penyeragaman diantara pluralitas yang ada, pengekangan dan adanya kewajiban untuk memenuhi standart yang telah ditetapkan dengan ukuran nilai kelulusan yang harus ditentukan selama empat hari. Menjadi hal yang menyedihkan bila sekolah yang berada di pusat kota Jakarta dengan segala kemajuan informasi dan teknologi pendidikannya harus diseragamkan dengan sekolah yang berada di pedalaman papua.
Untuk itu, pemerintah daerah harus mendesak pemerintah pusat agar ujian akhir nasional (UAN) dilakukan dengan standart yang ditentukan oleh pemerintah daerah. Tujuannya adalah agar tidak terjadi ketimpangan dan perbedaan dalam standart kelulusan di setiap daerah. Kemudian, agar pemerintah pusat lebih memfokuskan diri untuk menyelesaikan masalah-masalah nasional yang berkaitan dengan diplomasi, fiskal, pertahanan dan agama.
Ujian Akhir Nasional (UAN) = Untuk Adu Nilai (UAN)
Dari tahun ke tahun, dapat kita jumpai perubahan yang terjadi pada formula pemerintah dalam menentukan kelulusan. Pemerintah pusat mempunyai wewenang mutlak dalam menentukan setiap kelulusan peserta didik dengan standart yang ditentukan. Nilai menjadi prioritas pemerintah dan bukan malah kualitas peserta didik yang diperhatikan.
Hal inilah yang menjadi streotipe (cara pandang) peserta didik bahwa, nilai adalah tujun yang harus dikejar dan bukan peningkatan kualitas siswa yang menjadi prioritas. Kualitas semakin dikesampingkan dan bukan bakat yang dikedepankan. Menjadi sesuatu yang biasa, apabila kita mendengar ketika para peserta didik yang berada di jenjang pendidikan dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi mengukur kecerdasannya dilihat apabila ia berhasil mendapatkan nilai yang tinggi. Inilah streotipe yang telah berkembang disekitar kita dan harus segera dirubah.
Berbeda dengan negara-negara maju yang lebih mementingkan kualitas peserta didik daripada nilai yang baik. Peserta didik dituntut untuk berpikir mandiri dan berkarya semenjak tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tidak mengherankan ketika kita mendengar Kathryn Gray yang berusia 10 tahun, menemukan supernova (bintang yang meledak) dalam ilmu astronomi, Mark Zuckerberg penemu Facebook yang droup out dari kuliahnya, Alfred Bernhard Nobel yang menemukan dinamit dan lain-lain. Semua berawal dari ketertarikan mereka terhadap minat dan bakat yang harus dikembangkan, yang kemudian difasilitasi oleh negara. Hal inilah yang menjadikan negara-negara maju berhasil dalam mendidik para siswa-siswinya. Bakat menjadi ukuran pertama dan bukan nilai yang menjadi tujuan mereka.
Oleh karena itu, UAN diharapkan bukan hanya dijadikan sebagai salah satu standart pemerintah dalam menentukan kelulusan. Akan tetapi yang lebih penting adalah menanamkan kepada peserta didik untuk kreatif dan aktif menggali bakat mereka yang sudah tertanam pada diri setiap manusia, untuk dikembangkan dan dijadikan sebagai prioritas utama dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Sudah saatnya pendidikan yang berbasis pada standart nilai harus dihilangkan, diganti dengan pendidikan yang berbasis kepada kualitas dan bakat para siswa-siswi untuk bisa menjadikan mereka calon-calon penerus masa depan bangsa yang berprestasi dan unggul dibidangnya dengan fasilitasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan pusat tentunya.
Kesimpulan
Ujian Akhir Nasional (UAN) merupakan penyelenggaraan pemerintah dalam bentuk kontrol terhadap pendidikan di negeri ini. Ia merupakan penentu dari proses belajar mengajar selama tiga tahun. Dengan berbasis kepada standart kelulusan dengan nilai yang telah ditentukan, maka para siswa-siswa mengalami suatu cara pandang yang mengharuskan dirinya untuk mencapai standart yang sudah ditentukan. Oleh karena itu, UAN bukan menjadi jawaban atas setiap masalah pendidikan. Akan tetapi ia lebih merupakan salah satu bentuk pembiaran pemerintah dengan alasan meningkatkan mutu pendidikan dengan standart nilai yang sudah ditentukan. Untuk itu, standart nilai kelulusan harus diberikan kepada daerah sebagai bentuk dari amanat UU. 32/2004 dan preamble UUD 1945. Untuk itu, pemerintah pusat dan daerah harus lebih meningkatkan kerjasama dengan cara mengelola Ujian akhir nasional (UAN) digantikan dengan Ujian akhir daerah (UAD). Sebagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di setiap daerah yang kemudian dapat berimplikasi terhadap daya saing dengan daerah yang lain, terutama dengan negara-negara yang sudah maju dalam hal mutu pendidikan.