Jumat, 18 Februari 2011

MENUJU POST-POSITIVISME DALAM BERPIKIR POST-MODERNISME


Pendahuluan
            Terdapat berbagai elemen yang sekaligus menjadi penanda kemandirian bidang ilmu pengetahuan adalah teori dan metodologi. Dengan demikian adakalanya metode penelitian menjadi ciri yang khas dari ilmu yang bersangkutan, sehingga tujuan dalam setiap penelitian dan observasi adalah pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang kenyataan. Melalui berbagai macam objek penelitian dalam menentukan berbagai macam ilmu pengetahuan yang dihasilkannya, dan dalam hal ini filsafat pengetahuan dengan fakta yang ada melalui pendekatan, metode, prosedur dan seterusnya merupakan penentu dalam berbagai macam ilmu pengetahuan yang diperoleh. Sehingga secara sangat umum dibedakan menjadi dua macam ilmu pengetahuan, yaitu ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial (F. Budi Hardiman: 2003).
             W. Dilthey salah seorang filsuf pengetahuan membedakan ilmu-ilmu alam Naturwissenschaften dan ilmu-ilmu roh/budaya Geisteswissenschaften. Ilmu alam ini meliputi fisika, kimia, matematika, biologi adalah barisan dari ilmu yang mengamati dari segi objek-objek alamiah dengan adanya kriteria validitas internal dan berpikir secara logis-deduktif. Sedangkan ilmu-ilmu budaya (sosial) adalah barisan ilmu yang mengamati gejala kemanusiaan dan kebudayaan dengan adanya kriteria eksternal grounded dan berpikir runtut secara ilmiah.
            Sepanjang dua dasawarsa lalu, dimana terjadi revolusi diam dalam metodologis ilmu-ilmu sosial sehingga memunculkan kekaburan batas-batas disiplin ilmu tersebut. Ilmu-ilmu sosial dan humaniora telah mulai bersinggungan untuk menyatakan fokus perhatian pada pendekatan kualitatif dan interpretif pada ranah penelitian dan teori. Hal ini dapat kita telisik dimana ketika terjadinya krisis pemikiran dan pengetahuan Barat-modern yang terjadi akibat adanya reduksi pada metodologi dan instrumentalisasi dari pengetahuan itu sendiri. Sehingga dapat ditandai dengan tumbangnya bangunan paradigma berpikir modern yang sangat kentara dengan alur dan bernuansa positivistik. Krisis pengetahuan yang terjadi sejak paro pertama abad ini, merupakan hasil perkembangan sejarah pemikiran yang terjadi sejak proses modernisasi di Barat meruntuhkan tatanan nilai masyarakat Abad Pertengahan, melalui Renaissance dan memuncak pada zaman Aufklarung dan akhirnya menemuai batas-batasnya sejak permulaan abad ini.
            Oleh banyak pemikir abad ini, cara berpikir masyarakat Abad Pertengahan secara kualitatif lebih bercorak metafisik, karenanya berbeda dan terpisah dengan masyarakat modern. Mereka meyakini adanya suatu tatanan dunia obyektif yang berdiri lepas dari subyek yang berpikir. Misalnya, mereka meyakini adanya kebenaran pada dirinya, pengetahuan pada dirinya, realitas tertinggi yang lepas dari dunia material ini. Sedangkan modernisasi yang didorong oleh sistem kapitalis, teknologi dan negara-negara sekuler menyangsikan dan mempertanyakan semua makna dunia objektif-tradisional, sehingga lahirlah suatu bangunan epistemologis bahwa subyek memiliki peran mutlak membentuk realitas. Pada titik ini, pendulum telah bergerak dari obyek ke subyek. Artinya, subyeklah yang membangun dan menciptakan realitas (F. Budi Hardiman: 2003, 51).
            Terdapat suatu pergeseran pendulum ini, yaitu dari obyek ke subjek namun tidak berlangsung lama. Positivisme telah berhasil membawa pendulum epistemologi kembali ke obyek lagi, akan tetapi obyek yang muncul dari kegiatan pengetahuan ini adalah obyek inderawi, bukan obyek spekulatif seperti ditampilkan pemikiran Abad Pertengahan, yang sama sekali tidak mau mengakui peranan subyek bahkan mengosongkan apa saja dalam diri subyek sehingga menjadi obyektif dan mekanis. Misalnya, dalam psikologi modern yang berdasarkan observasi empiris: konsep-konsep seperti kecemasan, rasa bersalah, perilaku, pikiran, diformalisasikan dan dipermisikan dari unsur-unsur subjektif. Demikian pula dalam ilmu-ilmu sosial, manusia diobservasi pada permukaan obyektifnya, lalu semua yang ditemukan dalam dimensi obyektif manusia juga digeneralisasi sebagai dimensi subyektifnya.
            Dari sini, positivisme tampak ingin menjadi alternatif paradigma manusia modern yang ingin menyatukan berbagai bidang kenyataan dalam ilmu pengetahuan. Positivisme berkeinginan untuk membangun kembali tatanan obyektif baru yang bukan didasarkan pada metafisika, melainkan pada metode saintisme ilmu-ilmu alam. Pada titik ini, apa yang disebut ‘krisis’ itu muncul. Saintifikasi terhadap berbagai bidang hidup mengimplikasikan penerapan teknologisasi dalam berbagai bidang hidup yang akhirnya mereduksi manusia pada matra obyektifnya. Usaha mengilmiahkan masyarakat dan kehidupan pada gilirannya akan mempermiskin dan mengosongkan makna kehidupan manusia itu sendiri.
            Persoalan serius yang harus dibahas dalam krisis pengetahuan dan kemanusiaan Barat bukanlah pandangan positivistis, yang memang sesuai bila diterapkan pada ilmu-ilmu alam, melainkan positivisme atau penerapan metode ilmu-ilmu alam pada ilmu-ilmu sosial. Adapun kita ketahui bersama bahwa tujuan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial tentu bersifat praktis, yaitu memberikan pendasaran pengetahuan tentang aturan-aturan yang mengatur masyarakat dan mengadakan susunan masyarakat yang lebih sempurna.
            Dengan memasukkan ilmu-ilmu sosial kepada metode ilmu-ilmu alam, tentu akan sangat problematis. Sebab, keduanya memiliki obyek observasi berbeda. Masyarakat dan manusia sebagai obyek ilmu-ilmu sosial tentu tidak dapat diprediksi dan dikuasai secara teknis seperti obyek ilmu-ilmu alam yang bersifat ahistoris. Sebaliknya, masyarakat dan manusia dengan segala proses-proses sosial yang terdiri dari tindakan-tindakan manusia hanya dapat dipahami dengan pengetahuan yang terus berkembang dan pemahaman di luar subyek.
            Ternyata pada saat ini pengaruh dari positivisme terhadap ilmu-ilmu sosial menjadi sangat kuat, meski banyak kalangan mengatakan bahwa menguatnya diskursus teori sosial kritis dan post-modern merupakan babak baru yang bersifat sementara bagi positivisme. Banyaknya perspektif ilmu-ilmu sosial (sosiologi) mengenai masyarakat yang merupakan manifestasi dari sudut pandang positivisme seperti teori evolusionisme, struktural fungsional, struktural konflik, dan teori sistem meruapakan salah satu buktinya. Teori-teori itu memberikan perhatian utama kepada fakta sosial, khususnya menyangkut struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social institution). Tentu saja dengan memperhatikan dua hal itu (struktur sosial dan pranata sosial), tidak akan mampu menemukan sesuatu yang penting dalam masyarakat dan manusia. Karena dua hal tersebut sifatnya superficial, yakni hanya mampu mengupas dimensi-dimensi eksternal dan hal-hal yang ada dipermukaan manusia.

Post-Modernisme sebagai paradigma berpikir
            Gerakan pencerahan (humanisme) Barat menjadikan manusia sebagai pusat, dan menegaskan tentang rasionalitasnya serta kemampuannya melampaui dirinya dan lingkungannya tanpa mengetahui hal-hal yang non-rasial. Modernisasi merupakan sebuah proyek yang normatif di negara-negara berkembang dan modernitas menjadi tujuan yang didambakan, Edward Shils mengatkan “suatu kehendak untuk modern”. Begitu juga dengan pandangan Hegel, Marx dan Toeri Kritis yang menegaskan bahwa setiap masyarakat terdiri atas makhluk-makhluk rasional dan seiring perkembangannya menuju semakin rasional untuk dapat menentukan diri. Bahkan Habermas mengindikasikan bahwa masyarakat sedang berkembang menjadi semakin rasional dalam arti menuju modernitas (F. Budi Hardiman: 2003, 150).
            Pandangan Habermas inilah yang harus menjadi pegangan masyarakat manusia yang meyakinkan pada dirinya bahwa rasio manusia sifatnya universal dan dengan kekuatan rasio manusia dapat mewujudkan kebabasan dan kebahagiannya sendiri tanpa menunggu takdir. Artinya bahwa sebuah rasionalitas itu tidak hanya mungkin, tetapi juga secara normatif sedang dituju oleh segala bentuk masyarakat, sebatas ilmu dan tekhnologi menjadi agen perubahannya.
            Para pemikir Barat, Heidegger, Horkheimer dan Andorno berusaha untuk mengcounter modernisasi tersebut, yakni modernisasi adalah sejarah panjang yang tidak dapat dipastikan dan tidak dapat sampai pada tingkat kepuasaan modernisasi itu sendiri, akan tetapi apabila modernisasi itu dijadikan sebagai sebuah kerangka objektif-nasional, maka sebuah disintegrasi total sebuah negara yang akan terjadi. Hal ini disebabkan karena ide “kehendak untuk menjadi modern” merupakan label dari “nafsu” sebagai “kehenda untuk berkuasa”. Dan pada gilirannya akan menjadi sebuah restored totalitarianism, yang pada awalnya modernisasi itu merupakan cita-cita abad Pencerahan di Barat dan  sebagai pelepasan masyarakat dari ancaman feodalisme dan dari kungkungan birokratisme dan teknokratisme.
            Ada dua pandangan dalam pemikiran Barat Kontemporer yang menjadikan dirinya berpijak pada salah satu pandangan tersebut. Pertama mereka yang mendukung modernitas sebagai tujuan universal segala bentuk masyarakat, sedangkan yang kedua berupaya meninggalkan modernitas. Dalam hal ini kedua belah pihak merupakan berposisi sama-sama menggunakan kesadaran kritis dalam mengemukakan pandangan-pandangannya mengenai modernitas. Kedua belah pihak merupakan radikal atas saintisme dan positivisme yang mendominasi situasi intelektual abad ke-20. Habermas adalah sebagai tokoh yang berpengaruh dalam pandangan pertama tentang modernitas, dan pandangan kedua mereka para ahli waris Nietzche, seperti Heidegger, Derrida, Foucault, Bataille, Baudrillard, dengan sebutan post-modernis. (F. Budi Hardiman: 2003, 152).
            Post-Modernisme adalah suatu pandangan yang berupa penolakan terhadap asumsi-asumsi rasionalitas yang telah tertanam kuat, epsitimologi Barat tradisional, atau representasi realitas yang dianggap paling “aman”. Post-modernisme mengarahkan pada mitos tentang subjek yang otonom transendental, dan konsep tentang praksis yang dimarjinalkan demi mendukung ketidakpastian retoris dan analisis tekstual terhadap berbagai praktek sosial. Post-modernisme ini menjadikan gagasan yang menyatakan bahwa makna dibawa oleh kejenakaan yang terus menerus dari sang penanda (signifer) sebagai titik tolaknya. (Norman K. Denzin, Yvonna S. Lincoln: 2009, 178).
            Pembahasan ini dimulai dengan sosok tokoh post-modernisme, Jacques Derrida (1930 M) seorang filosof perancis yahudi. Dia menganut aliran filsafat non rasial kontemporer. Dia banyak terpengaruh dengan Nietsche dan filosof serta pemikir lainnya (Sartre, Martin heidegger, Emanuell leibnizts, pemikir perancis yahudi).
            Mengenai beragamnya definisi postmodernisme, Kvale (2006) berpendapat bahwa istilah postmodernisme, yang berasal dari istilah posmodern, yaitu dapat sangat luas, kontroversial, dan ambigu. Hal ini terlihat dari pembagian pengertian yang Kvale (2006) lakukan untuk membedakan istilah postmodern tersebut yaitu : Postmodernitas yang berkaitan dengan era post-modern, Post-modernism yang berkaitan dengan ekspresi kultural era post-modern, dan pemikiran post-modern, atau wacana, yang berkaitan dengan refleksi filosofis dari era dan budaya post-modern.

Case Kebudayaan Post-Modernisme
            Adalah sebuah terma yang dipakai untuk menjabarkan masyarakat pada era informasi sekarang ini dimana secara sosial dipenuhi oleh bentuk-bentuk representasi/sajian yang terus meningkat, seperti perfilman, fotografi, elektronik, automotif dan sebagainya. Semua ini telah menimbulkan dampak hebat dalam men­ciptakan narasi kebudayaan yang membentuk identitas kita. Drama kehidupan sedemikian sering ditayangkan di televisi sehingga individu-individu dimana sebagian besar semakin mampu memprediksi berbagai hasil dan memandang hasil-hasil yang demikian yakini sebagai arah kehidupan sosial yang "alami” dan "normal." (Gergen, 1991).
            Seperti ungkapan kebanyakan analis post-modernisme, kita telah menjadi pengekor, sebagai konglomerasi imitatif satu sama lain. Dalam kondisi yang demikian itu kita mendekati kehidupan dengan sedikit
perasa
an, dengan perasaan bosan post-modern dan kecemasan yang tak bisa dimaafkan. Ikatan-ikatan emosional kita terurai seiring dengan serangan televisi, komputer, handphone, Internet, VCD, dan DVD sehingga kita terharuskan mengikuti dan memeiliki barang-barang tersebut. terhadap kita dengan berbagai sajian yang telah membentuk fasilitas kognitif dan afektif kita melalui cara-cara yang masih belum dipahami dengan memadai. Di bidang politik, kaum tradisionalis menyekat dan membentengi melalui budaya mereka dan menyingkirkan kaum khayalan seperti humanis sekuler, liberal ekstrem," dan kaum utopianis, yang tidak menyadari bahwa dampak yang ditimbulkan oleh hiperrealitas post-modern terhadap lembaga-lembaga mereka yang disakralkan. Keluarga inti, misalnya, telah menurun nilainya bukan karena serbuan "kaum feminis radikal" namun karena rumah telah didefenisikan kembali melalui kehadiran berbagai komunikasi elektronik yang dipandang wajar.
            Bentuk-bentuk informasi tertentu menempatkan anggota individual keluarga dalam hubungan yang konstan dengan subkultur tertentu pula. Meskipun secara fisik mereka berada di rumah, namun secara emosional mereka berada di luarnya melalui efek-efek penghubung dari berbagai bentuk komunikasi. Kita seharusnya terus berusaha memahami dunia sosial dan menilai kebudayaan-kebudayaan lain melalui genre televisi yang terikat dengan budaya dan konvensio­nal. Hiperrealitas telah memperkenalkan kita dengan berbagai bentuk literasi baru yang tidak hanya mengacu pada berbagai keterampilan tertentu tetapi juga membentuk berbagai keterampilan sosial dan relasi-relasi kekuasaan simbolik. Teknologi-teknologi baru ini tidak bisa dipandang terpisah dari konteks sosial dan kelembagaan yang di dalamnya mereka digunakan dan peran yang dimainkannya dalam keluarga, komunitas, dan tempat kerja. Teknologi tersebut juga perlu dilihat dari sudut bagaimana "kompetensi mempublikasi" telah terdistribusikan secara sosial dan berbagai praktik sosial yang berbeda bahkan diskursif, yang di dalamnya literasi media yang baru ini dihasilkan.
Transmisi elektronik menghasilkan formasi­-formasi baru, dimana ruang kebudayaan dan menyusun kembali pengalaman akan waktu. Kita sering kali terdorong untuk memperdagangkan keanggotaan komunitas demi kepemilikan semu (pseudobelonging) dunia media (mediascape).
Dengan memfokuskan pada era kemajuan informasi ini, dengan kemajuan yang telah diadopsi dan diyakini sebagai arah kehidupan sosial yang alami dan normal. Pada akhirnya akan berdampak pada bentuk kesadaran individualisme, kritik dan kebebasan terhadap kapitalisme melalui media dan sistem politik yang liberal dimana adanya bentuk-bentuk kesadaran terhadap bentuk penipuan yang dilakukan oleh kemajuan tekhnologi yang hanya mementingkan kelompok kepentingannya dan juga berpretensi untuk menjadikannya sebagai bentuk-bentuk penindasan gaya baru.
           
Konsistensi dalam menentukan mazhab Post-Positivisme
            Adapun posisi penulis setelah dipaparkan dari pernyataan di atas menggunakan pendekatan pada post-positivisme. Dengan ontologinya berdasarkan pada realisme kritis, epistimologi objektivis yang dimodifikasi dan metodologi eksperimental (keragaman argumentatif). Untuk itu seseorang yang mempelajari ilmu politik dan ingin mendeklarasikan dirinya sebagai seseorang mempunyai pendekatan dalam berpikir, maka dalam hal ini harus diperhatikan konsistensi seseorang dalam menentukan mazhab dan penggunaannya. Terlebih dahulu memahami bahwa tahapan-tahapan dalam kajian mazhab tersebut. Baik itu berupa epistimologi, yaitu berupa pengetahuan tentang apa yang dikaji, ontologi, tentang hakikat dasar dari realitas yang ada, aksiologi dan metodolgi, yakni bagaimana cara kita meraih pengetahuan tersebut.
            Selanjutnya dimulai dengan membaca dan menyadari pendekatan yang bagaimana yang seharusnya menjadi dasar kita dalam berpikir dengan membandingkan pendekatan-pendekatan yang ada dengan realitas pemikiran yang kita gunakan. Untuk selanjutnya memilih metodologi dalam memperoleh pengetahun tersebut sesuai dengan alur yang telah kita dapatkan, dan untuk selanjutnya mencoba memakai perbendaharaan kata-kata atau istilah yang menjadi trend dan pemikiran para tokoh penggagas pendekatan dalam berpikir tersebut.
            Dan yang terakhir adalah bagaimana kita telah menemukan suatu pendekatan dalam berpikir, contohnya berpikir yang positivistik atau post-positivistik untuk selanjutnya di terapkan dalam berpikir, menganalisa dan membuat kerangka dan penelitian yang dapat membantu proses perkembangan ilmu itu sendiri.


Daftar Bacaan

Denzin K. Norman, Lincoln S. Yvonna. 2009. Handbook of Qualitatif Research.     Pustaka Pelajar; Yogyakarta
Gergen, K.J. 1991. The Saturated Self: Dilemmas of Identity in Contemporary       Life. Basic Book. New York
Hardiman F. Budi. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Kanisius;            Yogyakarta
Kvale, Steiner. 2006. Psikologi dan Posmodernisme. Pustaka Pelajar;        Yogyakarta


Selasa, 15 Februari 2011

Negara Otonom


Pendahuluan

Makalah ini dibuat untuk melihat negara otonom dalam hubungan relasi negara dengan masyarakat. Negara adalah sebuah entitas komunitas masyarakat modern yang mengikatkan diri dalam loyalitas institusional. Negara ada dalam realitas masyarakat yang membuat konsensus siapa yang diperintah dan memerintah untuk merealisasikan tujuan bersama. Sebagai konsekuensi, yang memerintah adalah mereka yang memiliki dan dapat menggunakan sumber-sumber kekuasaannya sehingga mendapatkan legitimasi dari masyarakat yang diperintah. Negara tidaklah bertindak atas kehendak dirinya sebagaimana paham para institusionalis, negara bukan hanya institusi tetapi juga aktor yang menjadikan negara sebagai arena sekaligus kontestasi dimana nilai kekuasaan terdistribusi di tengah-tengah masyarakat.
Regulasi yang dibuat oleh negara yang akan mengikat masyarakat hukum yang ada di dalamnya  tidak semata-mata atas perilaku dan kehendak negara sebagai institusi tetapi juga dipengaruhi oleh perilaku dan orientasi aktor yang mengisi formasi jabatan publik di dalam negara. Dalam budaya tertentu formasi aktor yang mengisi jabatan publik ini sangat mempengaruhi corak relasi antara negara dengan aktor elitnya sebagai rezim yang memerintah dan masyarakat yang diperintah. Dalam konteks ke-Indonesiaan pola hubungan relasi antar aktor itu terpengaruh budaya politik yang telah diwarnai pengalaman sejarah telah tersosialisasikan dalam kurun waktu yang lama dalam bingkai histori kolonialisme (Susialismanto 2001: 76) dan budaya paternalistik Jawa  (Anderson : 1972 ).
Budaya politik ini menjadikan negara menjadi sebuah otoritas yang punya kemampuan untuk bertindak atas nama kehendak negara dan memisahkan dengan kepentingan dan kehendak masyarakat. Masyarakat yang telah tersosialisasi budaya Jawa dan kolonial ini menjadi tidak memiliki kemampuan menyatakan kehendaknya terhadap kepentingan negara dan terpatron dalam otoritas negara yang otonom.
Dalam perjalanannya seiring perubahan dinamika sosial zaman terutama ketika mainstream gelombang demokrasi ketiga melanda hampir semua negara dunia termasuk Indonesia peranan otonomi negara yang otoritarian ini dihadapkan pada reformasi sosial yang menandai runtuhnya rezim Orde Baru tahun 1998. Negara dipaksa menyesuaikan tuntutan reformasi sosial dan demokratisasi disemua bidang, namun dalam pelaksanannya tidak semudah yang dibayangkan, karakter budaya politik itu telah mengakar dalam perilaku bangsa Indonesia. Negara tetap saja dalam domain tertentu memiliki kecenderungan menampakan ke-otonomiannya, namun dengan pola yang lebih demokratis dan menampakan partisipasi semu.
     Francis Fukuyama dalam bukunya “memperkuat negara” (2005) memberikan suatu konseptualisasi peran sebuah negara dalam berdemokrasi dimana adanya pembedaan antara lingkup dan kapasitas negara, dengan apa yang dibayangkan bukanlah adanya gerak pembalikan sejarah menuju statisme negara akan tetapi adanya sistem pemerintahan dengan lingkup otoritas negara yang terbatas, namun dengan kapasitas penyelenggaraan  pemerintahan yang kuat dan stabil. Gagasan “memperkuat negara” disini adalah lebih berorientasi terhadap peningkatan kapasitas lembaga-lembaga publik,  seperti adanya kecakapan administrasi para pegawai, serta akuntabilitas dan transparansi birokrasi pemerintahan. Dengan pengertian bahwa bukan melahirkan institusi-institusi negara sebagai superbody dengan lingkup otoritas yang sangat luas dan sulit dikontrol publik. Dalam hal ini Francis Fukuyama menginginkan adanya proses penguatan negara sekaligus perampingan sebuah negara.
Realitas seperti yang diinginkan Francis Fukuyama ini memang terjadi, namun dalam prakteknya muncul kerancuan antara gerak penguatan negara dan gerak perampingan negara itu.  Dimana terjadi di berbagai kawasan pasca rezim otoritarian berlangsung secara ekstrim sehingga bukan sekedar lingkup fungsi negara yang semakin menyempit, namun juga pelemahan kapasitas negara secara berlebihan. Deviasi yang lain adalah ketika reformasi penyelenggaraan pemerintahan tidak benar-benar difokuskan untuk memperkuat kapasitas negara, namun terutama sekali untuk memperluas otoritas  negara hingga menjangkau area-area dimana intervensi negara sesungguhnya tidak relevan lagi. Deviasi ini sangat menggejala di Indonesia belakangan, khususnya dalam konteks reformasi kebijakan yang sedang berlangsung.

Pendekatan budaya politik dalam negara Otonom          
Dalam realitasnya negara tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat, tapi pola relasi yang terjadi memperlihatkan bagaimana dominasi antara negara dan masyarakat terjadi dalam relasi kuasa yang tidak menghadirkan secara serta merta negara disatu sisi yang otonom dan masyarakat di sisi lainnya. Tetapi negara adalah  integrasi kekuasaan politik, organisasi pokok kekuatan politik, agency atau alat masyarakat yang memegang kekuasaan mengatur hubungan antar manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala kekuasaan di dalamnya sehingga negara mengandung bukan perilaku institusi saja tapi juga perilaku aktor yang memperoleh kuasa dalam negara itu sendiri,
Negara dan masyarakat sejatinya adalah aktor yang memiliki orientasi, sikap dan perilaku sehingga awal pembahasan mengenai negara otonom ini adalah latar belakang negara otonom dengan pendekatan berbasis historis dan sifatnya idealistik yang dimulai dari ide-konsep tentang kekuasaan negara dihubungkan dengan budaya politik yang dapat menjadi latar dari orientasi, sikap, perilaku aktor atas sistem politik sebagaimana Gabriel dan Almond (1963) dalam civic culture melihat budaya politik sebagai sikap individu terhadap sistem dan komponen-komponennya dan juga sikap individu terhadap peranan yang dapat dimainkan dalam sebuah sistem politik (Afan Gaffar; 2000). Dalam konteks ke-Indonesiaan cukup rumit melihat budaya politik yang melatari aktor yang punya kuasa atas negara dan masyarakat karena atribut diferensiasi budaya yang kompleks yang ada tetapi sejarah membuat kita sepakat bahwa ada pola budaya yang dominan dari etnis yang dominan dalam kurun waktu yang lama menempatkan elitnya di panggung kekuasaan negara yaitu etnis Jawa.
Pendekatan budaya politik dalam konteks ke-Indonesian yang terepresentasi dalam budaya Jawa sebagai akar budaya politik yang melahirkan negara otonom dengan perilaku elitnya pernah di sinyalir melalui tulisan Claire Holt, Benedict Anderson dan James Siegel dalam Political culture in Indonesia yang memulai pembicaraan menyangkut masalah kekuasaan di Jawa (Afan Gaffar; 2000). Menurut analisis Anderson konsep kekuasaan di Jawa berbeda sekali dengan kekuasaan yang ada di Barat dimana di Jawa Kekuasaan bersifat kongkret, besarnya konstan, sumbernya homogen dan tidak berkaitan dengan persoalan legitimasi (Anderson : 1972)
Jawa sebagai pola budaya yang dominan dalam formasi elit yang memegang kekuasaan negara pasca kolonial membawa nilai budaya dengan stratifikasi sosial yang tidak didasarkan semata bersifat materialistik, akan tetapi pada akses kekuasaan yang dipertegas dengan pola hubungan kelas yang disimbulkan dengan bahasa yang berbeda dan penghormatan yang berbeda seperti yang pernah diungkap Clifford Gertz dalam The Religion of Java yaitu adanya kelas priyayi, santri dan abangan (Gertz: 1960). Dalam pola hirarki itu priyayi menempatkan diri dalam superioritas kelas dan menampakan diri dengan self–image atau citra diri yang bersifat benovelent, yaitu dengan ungkapan sebagai pamong praja yang melindungi masyarakat, dan juga sebagai pamong atau guru pendidik bagi rakyatnya (Afan Gaffar; 2000). Pola budaya ini menjadi relasi kuasa antar kelas yang mendudukkan kelas priyayi sebagai kelas yang memerintah dengan citra diri sebagai pamong yang pemurah, baik hati dan pelindung dari seluruh rakyatnya yang paling mengerti kebutuhan rakyatnya, sehingga rakyat yang terpatron sebagai yang diayomi, dilayani dan dipenuhi segala sesuatunya merasa tidak perlu untuk melawan pemerintah atau sekedar mengoreksi pemerintah yang baik hati itu.
Kecendurungan budaya yang terepresentasi dalam relasi kuasa ini menjadi budaya politik yang terinternalisasi dalam sosialisasi politik yang telah mengakar, kemudian mencipatakan budaya patronage seperti yang telah disinggung oleh James Scott dalam istilah patron-client dimana dalam relasinya terjadi pertukaran sumberdaya (exchange of resources). Patron yang memerintah mempunyi sumber daya uang, materi dan regulasi yang mengikat dan client mempunyai sumberdaya tenaga, kepatuhan dan loyalitas (Afan Gaffar; 2000)
Ketika budaya Jawa yang membentuk stratifikasi sosial tersebut termanifestasi dalam formasi dominisai elit di negara Indonesia dan proses sosialisasi politik berjalan cukup lama dalam masa kurun waktu Orde Lama dengan Soekarno sebagai simbul patrimonial paternalistik yang mengakar di budaya Jawa lalu dilanjutkan oleh Orde Baru yang menempatkan Soeharto yang memainkan peran sebagai patron dengan jargon pembangunan sebagai nilai yang final dan menjadi legitimasi negara atas setiap regulasi yang dibuat oleh rezim Orde Baru sebagai kehendak negara untuk kepentingan negara.
Dalam rezim atau orde Soekarno dan Soeharto yang kental memanifestasikan budaya kepemimpinan paternal budaya Jawa membuat negara yang direpresentasikan oleh pemimpin Jawa menjadi sebuah otoritas yang punya kehendak kuat atas segela regulasi yang dibuat, dan disisi lain masyarakat yang secara psikologis telah terpatron dalam persfektif dan orientasi budaya Jawa yang paternal membuat masyarakat tidak memilki preferensi untuk membuat kecenderungan yang tidak sejalan dengan kehendak negara (elit negara). Dimana negara otonom yang memilki kehendak sendiri atas kepentingannya dan masyarakat tidak bisa dan tidak berkemampuan menginterfensi negara ini, kemudian di sinyalir oleh Ben Anderson terdapat pemisahan hubungan yang mendasar (disjunction fundamental) antara kepentingan negara dan masyarakat. Negara mengambil sikap menyisihkan diri dan tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat.            
Negara mempunyai kekuasaan yang besar dan kuat (strong state) apabila negara tersebut kebal dari kepentingan-kepentingan individu, yakni negara mempunyai kepentingan sendiri, atau adanya konsepsi State Qua State (1983). Dengan menggunakan analisa sejarah (historis), Ben Anderson memberikan tekanan yang kuat pada negara. Ben Anderson menyebutkan sebagai Old State New Society. Ben Anderson berpendapat bahwa kebijakan-kebijakan rezim Orde Baru hanya dapat dimengerti secara baik dari kepentingan negara itu sendiri. Dia memberikan gambaran bahwa negara Indonesia modern sebagai kesatuan yang mengurus dirinya sendiri, yang mengejar pemenuhan kepentingannya sendiri dengan resiko berbenturan dengan kepentingan yang timbul dalam masyarakat.
Oleh karena itu, negara merupakan lembaga yang mempunyai kemauan dan kepentingan sendiri yang mandiri (otonom), sehingga kebijakan yang dibuat oleh negara merupakan refleksi dari kepentingan negara, bukan fungsi dari kepentingan kelas atau kelompok.

Teori Negara Pasca Kolonial dan Otonomi Relatif
Peran negara pasca kolonial dalam perkembangannya masih menyisakan sifat (watak) dasarnya yang intervensionis dan otoriter dalam mengatur urusan-urusan publik tertentu, terlebih di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Ini menunjukkan bahwa ide demokrasi yang diperjuangkan untuk ditegakkan belum mencapai titik subtantifnya atau masih menemui banyak kendala.    Hal ini dimungkinkan karena warisan budaya politik kolonial yang masih mewarnai sifat dasar rakyat Indonesia. Dan adanya proses kolonialisme serta imprealisme yang terjadi secara intensif, sehingga berdampak pada ranah ekonomi dan politik. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh H.J Benda bahwa kegagalan ide demokrasi di Indonesia adalah karena ketidaksesuaian watak asing demokrasi yang bertolak belakang dengan watak politik Indonesia sejak zaman pra penjajahan. Dalam pandangannya, sejarah politik Indonesia hampir tidak pernah, dan selalu diwarnai secara dominan oleh gaya-gaya pemerintahan yang patrimonial dan otoritarianisme.
Dalam mengkaji fenomena semakin menguatnya peran negara pasca kolonial khususnya Indonesia dalam ranah-ranah tertentu sebagaimana dijelaskan di atas, dapat dijelaskan dengan teori negara pasca kolonial yang dibangun oleh Hamza Alavi. Kontribusi yang cukup signifikan dari semakin menguatnya peran negara di dunia ketiga adalah “otonomi relatif”. Teori-teori H.J Benda secara teoritis diadopsi dari perdebatan antara Miliband dan Poulantzas mengenai negara industri maju di Eropa, kemudian ia gunakan untuk mengkaji peran negara pasca kolonial (Susialismanto 2001: 73). Inti pokok dari teori yang dikembangkan Hamza Alavi adalah bahwa perkembangan negara pasca kolonial mempunyai apa yang disebut sebagai “otonomi relatif” terhadap kelas-kelas sosial, akibat dari lemahnya kelas-kelas sosial itu dalam struktur sejarah masyarakat post-kolonial.
Dalam pandangan Hamza Alavi konsepsi negara otonomi relatif yang berjalan di negara dunia ketiga sebagai sebuah negara yang berkembang secara berlebihan (over developed state) pasca kolonial. Hal inilah yang menjadikan watak khusus dan pembeda antara negara pasca kolonial dengan negara industri maju. Sebagaimana yang dikutip oleh Sosialismanto dalam Hegemoni negara. Menurut Hamza Alavi peran yang dijalankan oleh negara kolonial guna mengendalikan dan menguasai kelas-kelas domestik demi kepentingan negara dan borjuasi metropolitan telah membuatnya tumbuh secara tidak seimbang dengan pertumbuhan dan kematangan kelas-kelas domestik. Sehingga menjadikan sistem yang diwarisi negara pasca kolonial setelah kemerdekaan mempunyai ciri-ciri yang telah berkembang secara tidak proposional atau tidak seimbang dengan kelas-kelas yang ada (Susialismanto 2001: 75).
Dari sini dapat dipahami bahwa hadirnya negara Indonesia dengan semakin menguatnya fungsi negara dalam ranah-ranah tertentu disebabkan oleh berjalannya suatu proses struktural historis yang panjang sejak masa kolonial Hindia Belanda. Proses ini bagi Hamza Alavi diyakini karena adanya sebab dimana struktur yang sangat eksploitatif pada negara kolonial, sehingga menjadikan kelas-kelas borjuasi atau kelas-kelas menengah yang kuat yang dapat menjadi kontrol terhadap negara (Saul, 1974)
Struktur masyarakat yang tumbuh sebagai akibat dari kolonialisme yang telah bertahan pada masa pasca kolonial dengan kecenderungan dan implikasi yang tidak jauh berbeda dari masa kolonial. Dengan demikian proses semacam itu mempengaruhi pembentukan negara dan masyarakat pasca kolonial, yang oleh Hamza Alavi menyebutnya sebagai post colonial state (Susialismanto 2001: 76).
Kalau ditinjau dari analisis struktural-historis ini, dapat dijelaskan bahwa berdasarkan pengalaman sejarah umumnya negara yang bersifat otonom di dunia ketiga itu berada di atas kepentingan kelas. Di sini peran negara relatif punya kekuatan untuk menghadapi dan memperlemah perkembangan masyarakat sipil di negara dunia ketiga. Sehingga menjadikan negara yang bertindak sebagai komite kecil dan memegang inisiatif untuk berjuang atas kepentingan kelas tertentu (Susialismanto,2001). Dalam artian bahwa negara membangun dan mengembangkan kepentingan sekelompok golongan dengan mengatasnamakan kepentingan negara, kepentingan pembangunan bangsa, kepentingan meningkatkan pendidikan anak bangsa, bahkan sampai kepentingan rakyat. Walaupun secara empiris menunjukkan bahwa negara sangat membela dan mengutamakan dominasi dan kepentingan mereka sendiri.
Dengan demikian sifat otonomi negara dalam masyarakat pasca kolonial di dunia ketiga tidak sepenuhnya mandiri dalam arti yang sebenarnya. Meskipun kekuatan-kekuatan ekonomi-poitik di luar negara tidak dapat mendominasi kebijaksanaan-kebijaksanaan negara. Negara dapat menentukan kebijaksanaannya sendiri, akan tetapi sebagaimana dijelaskan di atas kebebasan negara itu bersifat relatif. Relatifnya kebebasan negara tersebut menurut Hamza Alavi sebagaimana dikutip oleh Susialismanto (2001) dapat dilihat dari setting struktur kapitalisme dunia dimana ketika negara pasca kolonial berada atau terposisikan di dalam periferal kapitalisme.


Memperkuat Negara berdasarkan Lingkup dan Kapasitasnya
Pluralitas yang ada di Indonesia adalah merupakan sebuah identitas dari bangsa. Sebagai sebuah identitas maka tidak dapat dilepaskan dari peran negara untuk menata kehidupan masyarakat yang plural. Pentingnya peran negara sangat ditentukan oleh kuat atau lemahnya negara menata akan hal itu. Pada sisi ini definisi negara kuat menjadi sangat penting artinya. Banyak ahli mendefinisikan negara kuat sebagai negara yang mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Namun demikian bahwa negara kuat adalah negara yang gagal memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Kegagalan ini terjadi akibat kapasitas dan fungsi negara yang begitu besar di dalam menata masyarakat yang plural di Indonesia. Besarnya kapasitas dan fungsi negara tersebut telah menciptakan dominasi dan intervensi negara menjadi sangat besar pula.
Menurut Migdal dalam bukunya State Power and Social Forces: 1994, bahwa negara adalah sebagai penyelenggara pemerintahan yang memiliki kemampuan untuk melakukan kontrol sosial sesuai dengan segala peraturan-peraturan yang ada. Hal ini mengasumsikan bahwa terdapat persaingan yang kuat di antara negara sebagai penyelenggara pemerintahan dan masyarakat dengan segala eksistensi untuk melakukan kontrol sosial, di mana pada akhimya negara cenderung memenangkan pertarungan ini.
Untuk hal ini Migdal (1994: 24-26) memberikan beberapa konsep mengenai hubungan negara dan masyarakat: Pertama, tranformasi total. Di sini negara melakukan penetrasi yang kuat dan bersifat destruktif, kooptasi. penaklukan terhadap seluruh komponen-komponen kekuatan sosial dan melakukan dominasi terhadap kekuatan-kekuatan sosial tersebut. Kedua, negara menyatukan kekuatan-kekuatan sosial yang ada di dalam masyarakat. Pada tipe ini negara melakukan sebuah penetrasi terhadap kekuatan-kekuatan sosial tersebut dan menciptakan sebuah tatanan kehidupan bernegara yang baru. Penataan kehidupan bernegara yang baru ini juga berdampak pada seluruh komponen yang dimiliki oleh negara yang menyesuaikan dengan keadaan tersebut merealokasi sumber-sumber kekuasaan, membangun legitimasi dan melakukan integrated domination. Ketiga, kekuatan-kekuatan sosial menyatukan negara. Dalam tipe ini kekuatan sosial memiliki peran yang signifikan untuk melakukan dominasi terhadap negara. Peran negara menjadi sangat rendah dan dikuasai oleh kekuatan sosial yang ada. Dengan kata lain seluruh simbol-simbol dan organisasi negara didominasi oleh lokalitas kekuatan sosial yang ada. Keempat, negara dan kekuatan sosial tidak dapat mengintervensi satu dengan yang lainnya. Pada tipe ini kedua kekuatan menjadi pesaing satu dengan yang lainnya dan memiliki kekuatan yang signifikan untuk tidak saling dipengaruhi.
Dari keempat model hubungan di atas kesemuanya dapat menunjukan kuat lemahnya sebuah negara atau masyarakat. Model pertama menunjukan identitas negara yang begitu kuat tetapi bersifat dominan serta represif. Negara menjadi kuat dan rakyat menjadi lemah. Model kedua memberikan gambaran bahwa negara dan masyarakat memiliki kekuatan secara seimbang sehingga dapat menciptakan mutually empowering. Model ketiga memberikan indikasi lemahnya sebuah negara berhadapan dengan kekuatan sosial dan dengan demikian rakyat kuat negara menjadi lemah. Model keempat menunjukkan adanya kekuatan yang saling dominan antara negara dan rakyat tetapi tidak menghasilkan sebuah mutually empowering.
Melihat model-model ini maka konsep negara kuat menjadi sangat dualistik, yaitu negara dapat dikatakan kuat karena dapat mengoptimalkan segala potensi untuk menyejahterkan rakyatnya tetapi pada sisi lain negara kuat juga memiliki konteks yang negatif karena kekuatan negara digunakan untuk mengkooptasi, menaklukkan dan mendominasi peran kekuatan sosial.
Dengan adanya beberapa kebijakan dan kasus-kasus yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir pasca reformasi yang berkaitan dengan persoalan masyarakat yang plural, dimana semakin besar atau kuat kapasitas negara yang bersifat dominasi dan intervensi menata dan mengatur persoalan-persoalan masyarakat yang plural, maka akan semakin lemah masyarakat dengan segala potensi kemajemukan yang dimilikinya. Dengan kata lain dominasi dan intervensi pemerintah terhadap penataan masyarakat yang plural di Indonesia tidak memberikan manfaat yang lebih baik dalam membangun sebuah negara-bangsa (nation-state) yang notabene memiliki identitas sebagai masyarakat yang plural. Bahkan hal tersebut telah menciptakan sebuah dikotomi menjadi sebuah negara kuat (state power).
Francis Fukuyama dalam bukunya “memperkuat negara” (2005) memberikan suatu konseptualisasi peran sebuah negara dalam berdemokrasi dimana adanya pembedaan antara lingkup dan kapasitas negara, dengan apa yang dibayangkan bukanlah adanya gerak pembalikan sejarah menuju statisme negara akan tetapi adanya sistem pemerintahan dengan lingkup otoritas negara yang terbatas, namun dengan kapasitas penyelenggaraan  pemerintahan yang kuat dan stabil. Gagasan “memperkuat negara” disini adalah lebih berorientasi terhadap peningkatan kapasitas lembaga-lembaga publik,  seperti adanya kecakapan administrasi para pegawai, serta akuntabilitas dan transparansi birokrasi pemerintahan. Dengan pengertian bahwa bukan melahirkan institusi-institusi negara sebagai superbody dengan lingkup otoritas yang sangat luas dan sulit dikontrol publik. Dalam hal ini Francis Fukuyama menginginkan adanya proses penguatan negara sekaligus perampingan sebuah negara.
Realitas seperti yang diinginkan Francis Fukuyama ini memang terjadi, namun dalam prakteknya muncul kerancuan antara gerak penguatan negara dan gerak perampingan negara itu.  Dimana terjadi di berbagai kawasan pasca rezim otoritarian berlangsung secara ekstrim sehingga bukan sekedar lingkup fungsi negara yang semakin menyempit, namun juga pelemahan kapasitas negara secara berlebihan. Deviasi yang lain adalah ketika reformasi penyelenggaraan pemerintahan tidak benar-benar difokuskan untuk memperkuat kapasitas negara, namun terutama sekali untuk memperluas otoritas  negara hingga menjangkau area-area dimana intervensi negara sesungguhnya tidak relevan lagi. Deviasi ini sangat menggejala di Indonesia belakangan, khususnya dalam konteks reformasi kebijakan yang sedang berlangsung.
Reformasi Kebijakan
            Kebanyakan  draft Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diajukan pemerintah kepada DPR, sangat terasa tendensi pelebaran fungsi-fungsi negara. Melalui berbagai RUU itu, fungsi negara hendak diperluas dengan pelembagaan aktivitas dan otoritas baru, atau peneguhan kembali aktivitas dan otoritas lama (rezim otoriter) yang telah dihapuskan  atas nama reformasi.
Sebagai contoh dalam RUU Intelijen yang tercermin dalam inisiatif pemerintah (seperti halnya UU Anti Terorisme) bukan hanya keinginan untuk membangun kapasitas intelijen negara, namun juga tendensi untuk memperluas otoritas mereka. Dengan alasan memerangi terorisme, lembaga intelijen hendak diijinkan melakukan intervensi jauh ke urusan-urusan pribadi warga negara. Hukum hendak melembagakan wewenang alat negara untuk mengontrol secara ketat kehidupan sipil, dengan menegasikan hak warga negara untuk sebaliknya melakukan “counter-intelligence” terhadap penyelenggara negara.
Tendensi pelebaran otoritas dan aktivitas negara juga terasa dalam RUU Kerahasiaan Negara dan RUU Pelayanan Publik. Namun catatan khusus perlu diberikan pada RUU KUHP. RUU ini bukan hanya bermaksud memperkuat kapasitas negara dalam mewujudkan tertib hukum dan keadilan sosial, namun juga bertendensi melegalkan intervensi negara yang terlalu jauh terhadap urusan publik dan privat. RUU KUHP berusaha melakukan over-kriminalisasi atas begitu banyak aspek kehidupan individu, baik pada sikap politik, pandangan intelektual, keyakinan beragama, gaya hidup dan bahkan perilaku  seksual.
Permasalahannya adalah negara dalam hal di ini ingin turut campur dan berwenang menyempurnakan moral warganya, akan tetapi RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi kemudian pada akhirnya juga akan bertendensi meneguhkan otoritas negara terhadap moralitas masyarakat, dengan mengakomodasi pandangan moral kelompok tertentu, yang kebetulan mayoritas, dengan mengabaikan perlindungan atas hak-hak individu (civil liberties).
Memperluas otoritas negara tampaknya lebih menarik bagi pemerintahan yang ada daripada meningkatkan kapasitas negara. Mereka  pada prinsip penting dalam ilmu politik, Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang tidak banyak memerintah.


Daftar Pustaka

Almond,Gabriel A and Sidney Verba 1963, The Civic Culture.New Jersey:Princeton University Press  
Anderson,Benedict 1972,Political Culture in Indonesia.New York: Cornel University Press
Fukuyama, francis 2005, Memperkuat Negara tata Pemerintahan Dan Tata Dunia Abad 21. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Gaffar,Afan 2000, Politik Indonesia,Yogyakarta:ustaka Pelajar
Migdal Joel.S. Kohli Atul 1994, State Power and Social Forces, New York: Cambridge University Press
Prasetyo, Adi 2010, Studi Negara Poskolonial, dalam http://politik.kompasiana.com/
Saul, John S, the State in Post Colonial Societies, makalah ini dipresenasikan pada the "Views from the Left" Lecture Series, Toronto, Canada, February 1974
Sosialismanto, Duto 2001, Hegemoni Negara Ekonomi Politik Pedesaan Jawa. Yogyakarta: Lapera Pustaka utama
Tornquist, Olle 2005, Defisit Politik Demokrasi Subtansial, dalam John Harriss, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist, Politisasi Demokrasi Politik Lokal Baru. Jakarta: Demos