Selasa, 15 Februari 2011

Negara Otonom


Pendahuluan

Makalah ini dibuat untuk melihat negara otonom dalam hubungan relasi negara dengan masyarakat. Negara adalah sebuah entitas komunitas masyarakat modern yang mengikatkan diri dalam loyalitas institusional. Negara ada dalam realitas masyarakat yang membuat konsensus siapa yang diperintah dan memerintah untuk merealisasikan tujuan bersama. Sebagai konsekuensi, yang memerintah adalah mereka yang memiliki dan dapat menggunakan sumber-sumber kekuasaannya sehingga mendapatkan legitimasi dari masyarakat yang diperintah. Negara tidaklah bertindak atas kehendak dirinya sebagaimana paham para institusionalis, negara bukan hanya institusi tetapi juga aktor yang menjadikan negara sebagai arena sekaligus kontestasi dimana nilai kekuasaan terdistribusi di tengah-tengah masyarakat.
Regulasi yang dibuat oleh negara yang akan mengikat masyarakat hukum yang ada di dalamnya  tidak semata-mata atas perilaku dan kehendak negara sebagai institusi tetapi juga dipengaruhi oleh perilaku dan orientasi aktor yang mengisi formasi jabatan publik di dalam negara. Dalam budaya tertentu formasi aktor yang mengisi jabatan publik ini sangat mempengaruhi corak relasi antara negara dengan aktor elitnya sebagai rezim yang memerintah dan masyarakat yang diperintah. Dalam konteks ke-Indonesiaan pola hubungan relasi antar aktor itu terpengaruh budaya politik yang telah diwarnai pengalaman sejarah telah tersosialisasikan dalam kurun waktu yang lama dalam bingkai histori kolonialisme (Susialismanto 2001: 76) dan budaya paternalistik Jawa  (Anderson : 1972 ).
Budaya politik ini menjadikan negara menjadi sebuah otoritas yang punya kemampuan untuk bertindak atas nama kehendak negara dan memisahkan dengan kepentingan dan kehendak masyarakat. Masyarakat yang telah tersosialisasi budaya Jawa dan kolonial ini menjadi tidak memiliki kemampuan menyatakan kehendaknya terhadap kepentingan negara dan terpatron dalam otoritas negara yang otonom.
Dalam perjalanannya seiring perubahan dinamika sosial zaman terutama ketika mainstream gelombang demokrasi ketiga melanda hampir semua negara dunia termasuk Indonesia peranan otonomi negara yang otoritarian ini dihadapkan pada reformasi sosial yang menandai runtuhnya rezim Orde Baru tahun 1998. Negara dipaksa menyesuaikan tuntutan reformasi sosial dan demokratisasi disemua bidang, namun dalam pelaksanannya tidak semudah yang dibayangkan, karakter budaya politik itu telah mengakar dalam perilaku bangsa Indonesia. Negara tetap saja dalam domain tertentu memiliki kecenderungan menampakan ke-otonomiannya, namun dengan pola yang lebih demokratis dan menampakan partisipasi semu.
     Francis Fukuyama dalam bukunya “memperkuat negara” (2005) memberikan suatu konseptualisasi peran sebuah negara dalam berdemokrasi dimana adanya pembedaan antara lingkup dan kapasitas negara, dengan apa yang dibayangkan bukanlah adanya gerak pembalikan sejarah menuju statisme negara akan tetapi adanya sistem pemerintahan dengan lingkup otoritas negara yang terbatas, namun dengan kapasitas penyelenggaraan  pemerintahan yang kuat dan stabil. Gagasan “memperkuat negara” disini adalah lebih berorientasi terhadap peningkatan kapasitas lembaga-lembaga publik,  seperti adanya kecakapan administrasi para pegawai, serta akuntabilitas dan transparansi birokrasi pemerintahan. Dengan pengertian bahwa bukan melahirkan institusi-institusi negara sebagai superbody dengan lingkup otoritas yang sangat luas dan sulit dikontrol publik. Dalam hal ini Francis Fukuyama menginginkan adanya proses penguatan negara sekaligus perampingan sebuah negara.
Realitas seperti yang diinginkan Francis Fukuyama ini memang terjadi, namun dalam prakteknya muncul kerancuan antara gerak penguatan negara dan gerak perampingan negara itu.  Dimana terjadi di berbagai kawasan pasca rezim otoritarian berlangsung secara ekstrim sehingga bukan sekedar lingkup fungsi negara yang semakin menyempit, namun juga pelemahan kapasitas negara secara berlebihan. Deviasi yang lain adalah ketika reformasi penyelenggaraan pemerintahan tidak benar-benar difokuskan untuk memperkuat kapasitas negara, namun terutama sekali untuk memperluas otoritas  negara hingga menjangkau area-area dimana intervensi negara sesungguhnya tidak relevan lagi. Deviasi ini sangat menggejala di Indonesia belakangan, khususnya dalam konteks reformasi kebijakan yang sedang berlangsung.

Pendekatan budaya politik dalam negara Otonom          
Dalam realitasnya negara tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat, tapi pola relasi yang terjadi memperlihatkan bagaimana dominasi antara negara dan masyarakat terjadi dalam relasi kuasa yang tidak menghadirkan secara serta merta negara disatu sisi yang otonom dan masyarakat di sisi lainnya. Tetapi negara adalah  integrasi kekuasaan politik, organisasi pokok kekuatan politik, agency atau alat masyarakat yang memegang kekuasaan mengatur hubungan antar manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala kekuasaan di dalamnya sehingga negara mengandung bukan perilaku institusi saja tapi juga perilaku aktor yang memperoleh kuasa dalam negara itu sendiri,
Negara dan masyarakat sejatinya adalah aktor yang memiliki orientasi, sikap dan perilaku sehingga awal pembahasan mengenai negara otonom ini adalah latar belakang negara otonom dengan pendekatan berbasis historis dan sifatnya idealistik yang dimulai dari ide-konsep tentang kekuasaan negara dihubungkan dengan budaya politik yang dapat menjadi latar dari orientasi, sikap, perilaku aktor atas sistem politik sebagaimana Gabriel dan Almond (1963) dalam civic culture melihat budaya politik sebagai sikap individu terhadap sistem dan komponen-komponennya dan juga sikap individu terhadap peranan yang dapat dimainkan dalam sebuah sistem politik (Afan Gaffar; 2000). Dalam konteks ke-Indonesiaan cukup rumit melihat budaya politik yang melatari aktor yang punya kuasa atas negara dan masyarakat karena atribut diferensiasi budaya yang kompleks yang ada tetapi sejarah membuat kita sepakat bahwa ada pola budaya yang dominan dari etnis yang dominan dalam kurun waktu yang lama menempatkan elitnya di panggung kekuasaan negara yaitu etnis Jawa.
Pendekatan budaya politik dalam konteks ke-Indonesian yang terepresentasi dalam budaya Jawa sebagai akar budaya politik yang melahirkan negara otonom dengan perilaku elitnya pernah di sinyalir melalui tulisan Claire Holt, Benedict Anderson dan James Siegel dalam Political culture in Indonesia yang memulai pembicaraan menyangkut masalah kekuasaan di Jawa (Afan Gaffar; 2000). Menurut analisis Anderson konsep kekuasaan di Jawa berbeda sekali dengan kekuasaan yang ada di Barat dimana di Jawa Kekuasaan bersifat kongkret, besarnya konstan, sumbernya homogen dan tidak berkaitan dengan persoalan legitimasi (Anderson : 1972)
Jawa sebagai pola budaya yang dominan dalam formasi elit yang memegang kekuasaan negara pasca kolonial membawa nilai budaya dengan stratifikasi sosial yang tidak didasarkan semata bersifat materialistik, akan tetapi pada akses kekuasaan yang dipertegas dengan pola hubungan kelas yang disimbulkan dengan bahasa yang berbeda dan penghormatan yang berbeda seperti yang pernah diungkap Clifford Gertz dalam The Religion of Java yaitu adanya kelas priyayi, santri dan abangan (Gertz: 1960). Dalam pola hirarki itu priyayi menempatkan diri dalam superioritas kelas dan menampakan diri dengan self–image atau citra diri yang bersifat benovelent, yaitu dengan ungkapan sebagai pamong praja yang melindungi masyarakat, dan juga sebagai pamong atau guru pendidik bagi rakyatnya (Afan Gaffar; 2000). Pola budaya ini menjadi relasi kuasa antar kelas yang mendudukkan kelas priyayi sebagai kelas yang memerintah dengan citra diri sebagai pamong yang pemurah, baik hati dan pelindung dari seluruh rakyatnya yang paling mengerti kebutuhan rakyatnya, sehingga rakyat yang terpatron sebagai yang diayomi, dilayani dan dipenuhi segala sesuatunya merasa tidak perlu untuk melawan pemerintah atau sekedar mengoreksi pemerintah yang baik hati itu.
Kecendurungan budaya yang terepresentasi dalam relasi kuasa ini menjadi budaya politik yang terinternalisasi dalam sosialisasi politik yang telah mengakar, kemudian mencipatakan budaya patronage seperti yang telah disinggung oleh James Scott dalam istilah patron-client dimana dalam relasinya terjadi pertukaran sumberdaya (exchange of resources). Patron yang memerintah mempunyi sumber daya uang, materi dan regulasi yang mengikat dan client mempunyai sumberdaya tenaga, kepatuhan dan loyalitas (Afan Gaffar; 2000)
Ketika budaya Jawa yang membentuk stratifikasi sosial tersebut termanifestasi dalam formasi dominisai elit di negara Indonesia dan proses sosialisasi politik berjalan cukup lama dalam masa kurun waktu Orde Lama dengan Soekarno sebagai simbul patrimonial paternalistik yang mengakar di budaya Jawa lalu dilanjutkan oleh Orde Baru yang menempatkan Soeharto yang memainkan peran sebagai patron dengan jargon pembangunan sebagai nilai yang final dan menjadi legitimasi negara atas setiap regulasi yang dibuat oleh rezim Orde Baru sebagai kehendak negara untuk kepentingan negara.
Dalam rezim atau orde Soekarno dan Soeharto yang kental memanifestasikan budaya kepemimpinan paternal budaya Jawa membuat negara yang direpresentasikan oleh pemimpin Jawa menjadi sebuah otoritas yang punya kehendak kuat atas segela regulasi yang dibuat, dan disisi lain masyarakat yang secara psikologis telah terpatron dalam persfektif dan orientasi budaya Jawa yang paternal membuat masyarakat tidak memilki preferensi untuk membuat kecenderungan yang tidak sejalan dengan kehendak negara (elit negara). Dimana negara otonom yang memilki kehendak sendiri atas kepentingannya dan masyarakat tidak bisa dan tidak berkemampuan menginterfensi negara ini, kemudian di sinyalir oleh Ben Anderson terdapat pemisahan hubungan yang mendasar (disjunction fundamental) antara kepentingan negara dan masyarakat. Negara mengambil sikap menyisihkan diri dan tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat.            
Negara mempunyai kekuasaan yang besar dan kuat (strong state) apabila negara tersebut kebal dari kepentingan-kepentingan individu, yakni negara mempunyai kepentingan sendiri, atau adanya konsepsi State Qua State (1983). Dengan menggunakan analisa sejarah (historis), Ben Anderson memberikan tekanan yang kuat pada negara. Ben Anderson menyebutkan sebagai Old State New Society. Ben Anderson berpendapat bahwa kebijakan-kebijakan rezim Orde Baru hanya dapat dimengerti secara baik dari kepentingan negara itu sendiri. Dia memberikan gambaran bahwa negara Indonesia modern sebagai kesatuan yang mengurus dirinya sendiri, yang mengejar pemenuhan kepentingannya sendiri dengan resiko berbenturan dengan kepentingan yang timbul dalam masyarakat.
Oleh karena itu, negara merupakan lembaga yang mempunyai kemauan dan kepentingan sendiri yang mandiri (otonom), sehingga kebijakan yang dibuat oleh negara merupakan refleksi dari kepentingan negara, bukan fungsi dari kepentingan kelas atau kelompok.

Teori Negara Pasca Kolonial dan Otonomi Relatif
Peran negara pasca kolonial dalam perkembangannya masih menyisakan sifat (watak) dasarnya yang intervensionis dan otoriter dalam mengatur urusan-urusan publik tertentu, terlebih di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Ini menunjukkan bahwa ide demokrasi yang diperjuangkan untuk ditegakkan belum mencapai titik subtantifnya atau masih menemui banyak kendala.    Hal ini dimungkinkan karena warisan budaya politik kolonial yang masih mewarnai sifat dasar rakyat Indonesia. Dan adanya proses kolonialisme serta imprealisme yang terjadi secara intensif, sehingga berdampak pada ranah ekonomi dan politik. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh H.J Benda bahwa kegagalan ide demokrasi di Indonesia adalah karena ketidaksesuaian watak asing demokrasi yang bertolak belakang dengan watak politik Indonesia sejak zaman pra penjajahan. Dalam pandangannya, sejarah politik Indonesia hampir tidak pernah, dan selalu diwarnai secara dominan oleh gaya-gaya pemerintahan yang patrimonial dan otoritarianisme.
Dalam mengkaji fenomena semakin menguatnya peran negara pasca kolonial khususnya Indonesia dalam ranah-ranah tertentu sebagaimana dijelaskan di atas, dapat dijelaskan dengan teori negara pasca kolonial yang dibangun oleh Hamza Alavi. Kontribusi yang cukup signifikan dari semakin menguatnya peran negara di dunia ketiga adalah “otonomi relatif”. Teori-teori H.J Benda secara teoritis diadopsi dari perdebatan antara Miliband dan Poulantzas mengenai negara industri maju di Eropa, kemudian ia gunakan untuk mengkaji peran negara pasca kolonial (Susialismanto 2001: 73). Inti pokok dari teori yang dikembangkan Hamza Alavi adalah bahwa perkembangan negara pasca kolonial mempunyai apa yang disebut sebagai “otonomi relatif” terhadap kelas-kelas sosial, akibat dari lemahnya kelas-kelas sosial itu dalam struktur sejarah masyarakat post-kolonial.
Dalam pandangan Hamza Alavi konsepsi negara otonomi relatif yang berjalan di negara dunia ketiga sebagai sebuah negara yang berkembang secara berlebihan (over developed state) pasca kolonial. Hal inilah yang menjadikan watak khusus dan pembeda antara negara pasca kolonial dengan negara industri maju. Sebagaimana yang dikutip oleh Sosialismanto dalam Hegemoni negara. Menurut Hamza Alavi peran yang dijalankan oleh negara kolonial guna mengendalikan dan menguasai kelas-kelas domestik demi kepentingan negara dan borjuasi metropolitan telah membuatnya tumbuh secara tidak seimbang dengan pertumbuhan dan kematangan kelas-kelas domestik. Sehingga menjadikan sistem yang diwarisi negara pasca kolonial setelah kemerdekaan mempunyai ciri-ciri yang telah berkembang secara tidak proposional atau tidak seimbang dengan kelas-kelas yang ada (Susialismanto 2001: 75).
Dari sini dapat dipahami bahwa hadirnya negara Indonesia dengan semakin menguatnya fungsi negara dalam ranah-ranah tertentu disebabkan oleh berjalannya suatu proses struktural historis yang panjang sejak masa kolonial Hindia Belanda. Proses ini bagi Hamza Alavi diyakini karena adanya sebab dimana struktur yang sangat eksploitatif pada negara kolonial, sehingga menjadikan kelas-kelas borjuasi atau kelas-kelas menengah yang kuat yang dapat menjadi kontrol terhadap negara (Saul, 1974)
Struktur masyarakat yang tumbuh sebagai akibat dari kolonialisme yang telah bertahan pada masa pasca kolonial dengan kecenderungan dan implikasi yang tidak jauh berbeda dari masa kolonial. Dengan demikian proses semacam itu mempengaruhi pembentukan negara dan masyarakat pasca kolonial, yang oleh Hamza Alavi menyebutnya sebagai post colonial state (Susialismanto 2001: 76).
Kalau ditinjau dari analisis struktural-historis ini, dapat dijelaskan bahwa berdasarkan pengalaman sejarah umumnya negara yang bersifat otonom di dunia ketiga itu berada di atas kepentingan kelas. Di sini peran negara relatif punya kekuatan untuk menghadapi dan memperlemah perkembangan masyarakat sipil di negara dunia ketiga. Sehingga menjadikan negara yang bertindak sebagai komite kecil dan memegang inisiatif untuk berjuang atas kepentingan kelas tertentu (Susialismanto,2001). Dalam artian bahwa negara membangun dan mengembangkan kepentingan sekelompok golongan dengan mengatasnamakan kepentingan negara, kepentingan pembangunan bangsa, kepentingan meningkatkan pendidikan anak bangsa, bahkan sampai kepentingan rakyat. Walaupun secara empiris menunjukkan bahwa negara sangat membela dan mengutamakan dominasi dan kepentingan mereka sendiri.
Dengan demikian sifat otonomi negara dalam masyarakat pasca kolonial di dunia ketiga tidak sepenuhnya mandiri dalam arti yang sebenarnya. Meskipun kekuatan-kekuatan ekonomi-poitik di luar negara tidak dapat mendominasi kebijaksanaan-kebijaksanaan negara. Negara dapat menentukan kebijaksanaannya sendiri, akan tetapi sebagaimana dijelaskan di atas kebebasan negara itu bersifat relatif. Relatifnya kebebasan negara tersebut menurut Hamza Alavi sebagaimana dikutip oleh Susialismanto (2001) dapat dilihat dari setting struktur kapitalisme dunia dimana ketika negara pasca kolonial berada atau terposisikan di dalam periferal kapitalisme.


Memperkuat Negara berdasarkan Lingkup dan Kapasitasnya
Pluralitas yang ada di Indonesia adalah merupakan sebuah identitas dari bangsa. Sebagai sebuah identitas maka tidak dapat dilepaskan dari peran negara untuk menata kehidupan masyarakat yang plural. Pentingnya peran negara sangat ditentukan oleh kuat atau lemahnya negara menata akan hal itu. Pada sisi ini definisi negara kuat menjadi sangat penting artinya. Banyak ahli mendefinisikan negara kuat sebagai negara yang mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Namun demikian bahwa negara kuat adalah negara yang gagal memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Kegagalan ini terjadi akibat kapasitas dan fungsi negara yang begitu besar di dalam menata masyarakat yang plural di Indonesia. Besarnya kapasitas dan fungsi negara tersebut telah menciptakan dominasi dan intervensi negara menjadi sangat besar pula.
Menurut Migdal dalam bukunya State Power and Social Forces: 1994, bahwa negara adalah sebagai penyelenggara pemerintahan yang memiliki kemampuan untuk melakukan kontrol sosial sesuai dengan segala peraturan-peraturan yang ada. Hal ini mengasumsikan bahwa terdapat persaingan yang kuat di antara negara sebagai penyelenggara pemerintahan dan masyarakat dengan segala eksistensi untuk melakukan kontrol sosial, di mana pada akhimya negara cenderung memenangkan pertarungan ini.
Untuk hal ini Migdal (1994: 24-26) memberikan beberapa konsep mengenai hubungan negara dan masyarakat: Pertama, tranformasi total. Di sini negara melakukan penetrasi yang kuat dan bersifat destruktif, kooptasi. penaklukan terhadap seluruh komponen-komponen kekuatan sosial dan melakukan dominasi terhadap kekuatan-kekuatan sosial tersebut. Kedua, negara menyatukan kekuatan-kekuatan sosial yang ada di dalam masyarakat. Pada tipe ini negara melakukan sebuah penetrasi terhadap kekuatan-kekuatan sosial tersebut dan menciptakan sebuah tatanan kehidupan bernegara yang baru. Penataan kehidupan bernegara yang baru ini juga berdampak pada seluruh komponen yang dimiliki oleh negara yang menyesuaikan dengan keadaan tersebut merealokasi sumber-sumber kekuasaan, membangun legitimasi dan melakukan integrated domination. Ketiga, kekuatan-kekuatan sosial menyatukan negara. Dalam tipe ini kekuatan sosial memiliki peran yang signifikan untuk melakukan dominasi terhadap negara. Peran negara menjadi sangat rendah dan dikuasai oleh kekuatan sosial yang ada. Dengan kata lain seluruh simbol-simbol dan organisasi negara didominasi oleh lokalitas kekuatan sosial yang ada. Keempat, negara dan kekuatan sosial tidak dapat mengintervensi satu dengan yang lainnya. Pada tipe ini kedua kekuatan menjadi pesaing satu dengan yang lainnya dan memiliki kekuatan yang signifikan untuk tidak saling dipengaruhi.
Dari keempat model hubungan di atas kesemuanya dapat menunjukan kuat lemahnya sebuah negara atau masyarakat. Model pertama menunjukan identitas negara yang begitu kuat tetapi bersifat dominan serta represif. Negara menjadi kuat dan rakyat menjadi lemah. Model kedua memberikan gambaran bahwa negara dan masyarakat memiliki kekuatan secara seimbang sehingga dapat menciptakan mutually empowering. Model ketiga memberikan indikasi lemahnya sebuah negara berhadapan dengan kekuatan sosial dan dengan demikian rakyat kuat negara menjadi lemah. Model keempat menunjukkan adanya kekuatan yang saling dominan antara negara dan rakyat tetapi tidak menghasilkan sebuah mutually empowering.
Melihat model-model ini maka konsep negara kuat menjadi sangat dualistik, yaitu negara dapat dikatakan kuat karena dapat mengoptimalkan segala potensi untuk menyejahterkan rakyatnya tetapi pada sisi lain negara kuat juga memiliki konteks yang negatif karena kekuatan negara digunakan untuk mengkooptasi, menaklukkan dan mendominasi peran kekuatan sosial.
Dengan adanya beberapa kebijakan dan kasus-kasus yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir pasca reformasi yang berkaitan dengan persoalan masyarakat yang plural, dimana semakin besar atau kuat kapasitas negara yang bersifat dominasi dan intervensi menata dan mengatur persoalan-persoalan masyarakat yang plural, maka akan semakin lemah masyarakat dengan segala potensi kemajemukan yang dimilikinya. Dengan kata lain dominasi dan intervensi pemerintah terhadap penataan masyarakat yang plural di Indonesia tidak memberikan manfaat yang lebih baik dalam membangun sebuah negara-bangsa (nation-state) yang notabene memiliki identitas sebagai masyarakat yang plural. Bahkan hal tersebut telah menciptakan sebuah dikotomi menjadi sebuah negara kuat (state power).
Francis Fukuyama dalam bukunya “memperkuat negara” (2005) memberikan suatu konseptualisasi peran sebuah negara dalam berdemokrasi dimana adanya pembedaan antara lingkup dan kapasitas negara, dengan apa yang dibayangkan bukanlah adanya gerak pembalikan sejarah menuju statisme negara akan tetapi adanya sistem pemerintahan dengan lingkup otoritas negara yang terbatas, namun dengan kapasitas penyelenggaraan  pemerintahan yang kuat dan stabil. Gagasan “memperkuat negara” disini adalah lebih berorientasi terhadap peningkatan kapasitas lembaga-lembaga publik,  seperti adanya kecakapan administrasi para pegawai, serta akuntabilitas dan transparansi birokrasi pemerintahan. Dengan pengertian bahwa bukan melahirkan institusi-institusi negara sebagai superbody dengan lingkup otoritas yang sangat luas dan sulit dikontrol publik. Dalam hal ini Francis Fukuyama menginginkan adanya proses penguatan negara sekaligus perampingan sebuah negara.
Realitas seperti yang diinginkan Francis Fukuyama ini memang terjadi, namun dalam prakteknya muncul kerancuan antara gerak penguatan negara dan gerak perampingan negara itu.  Dimana terjadi di berbagai kawasan pasca rezim otoritarian berlangsung secara ekstrim sehingga bukan sekedar lingkup fungsi negara yang semakin menyempit, namun juga pelemahan kapasitas negara secara berlebihan. Deviasi yang lain adalah ketika reformasi penyelenggaraan pemerintahan tidak benar-benar difokuskan untuk memperkuat kapasitas negara, namun terutama sekali untuk memperluas otoritas  negara hingga menjangkau area-area dimana intervensi negara sesungguhnya tidak relevan lagi. Deviasi ini sangat menggejala di Indonesia belakangan, khususnya dalam konteks reformasi kebijakan yang sedang berlangsung.
Reformasi Kebijakan
            Kebanyakan  draft Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diajukan pemerintah kepada DPR, sangat terasa tendensi pelebaran fungsi-fungsi negara. Melalui berbagai RUU itu, fungsi negara hendak diperluas dengan pelembagaan aktivitas dan otoritas baru, atau peneguhan kembali aktivitas dan otoritas lama (rezim otoriter) yang telah dihapuskan  atas nama reformasi.
Sebagai contoh dalam RUU Intelijen yang tercermin dalam inisiatif pemerintah (seperti halnya UU Anti Terorisme) bukan hanya keinginan untuk membangun kapasitas intelijen negara, namun juga tendensi untuk memperluas otoritas mereka. Dengan alasan memerangi terorisme, lembaga intelijen hendak diijinkan melakukan intervensi jauh ke urusan-urusan pribadi warga negara. Hukum hendak melembagakan wewenang alat negara untuk mengontrol secara ketat kehidupan sipil, dengan menegasikan hak warga negara untuk sebaliknya melakukan “counter-intelligence” terhadap penyelenggara negara.
Tendensi pelebaran otoritas dan aktivitas negara juga terasa dalam RUU Kerahasiaan Negara dan RUU Pelayanan Publik. Namun catatan khusus perlu diberikan pada RUU KUHP. RUU ini bukan hanya bermaksud memperkuat kapasitas negara dalam mewujudkan tertib hukum dan keadilan sosial, namun juga bertendensi melegalkan intervensi negara yang terlalu jauh terhadap urusan publik dan privat. RUU KUHP berusaha melakukan over-kriminalisasi atas begitu banyak aspek kehidupan individu, baik pada sikap politik, pandangan intelektual, keyakinan beragama, gaya hidup dan bahkan perilaku  seksual.
Permasalahannya adalah negara dalam hal di ini ingin turut campur dan berwenang menyempurnakan moral warganya, akan tetapi RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi kemudian pada akhirnya juga akan bertendensi meneguhkan otoritas negara terhadap moralitas masyarakat, dengan mengakomodasi pandangan moral kelompok tertentu, yang kebetulan mayoritas, dengan mengabaikan perlindungan atas hak-hak individu (civil liberties).
Memperluas otoritas negara tampaknya lebih menarik bagi pemerintahan yang ada daripada meningkatkan kapasitas negara. Mereka  pada prinsip penting dalam ilmu politik, Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang tidak banyak memerintah.


Daftar Pustaka

Almond,Gabriel A and Sidney Verba 1963, The Civic Culture.New Jersey:Princeton University Press  
Anderson,Benedict 1972,Political Culture in Indonesia.New York: Cornel University Press
Fukuyama, francis 2005, Memperkuat Negara tata Pemerintahan Dan Tata Dunia Abad 21. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Gaffar,Afan 2000, Politik Indonesia,Yogyakarta:ustaka Pelajar
Migdal Joel.S. Kohli Atul 1994, State Power and Social Forces, New York: Cambridge University Press
Prasetyo, Adi 2010, Studi Negara Poskolonial, dalam http://politik.kompasiana.com/
Saul, John S, the State in Post Colonial Societies, makalah ini dipresenasikan pada the "Views from the Left" Lecture Series, Toronto, Canada, February 1974
Sosialismanto, Duto 2001, Hegemoni Negara Ekonomi Politik Pedesaan Jawa. Yogyakarta: Lapera Pustaka utama
Tornquist, Olle 2005, Defisit Politik Demokrasi Subtansial, dalam John Harriss, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist, Politisasi Demokrasi Politik Lokal Baru. Jakarta: Demos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar