Jumat, 18 Februari 2011

MENUJU POST-POSITIVISME DALAM BERPIKIR POST-MODERNISME


Pendahuluan
            Terdapat berbagai elemen yang sekaligus menjadi penanda kemandirian bidang ilmu pengetahuan adalah teori dan metodologi. Dengan demikian adakalanya metode penelitian menjadi ciri yang khas dari ilmu yang bersangkutan, sehingga tujuan dalam setiap penelitian dan observasi adalah pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang kenyataan. Melalui berbagai macam objek penelitian dalam menentukan berbagai macam ilmu pengetahuan yang dihasilkannya, dan dalam hal ini filsafat pengetahuan dengan fakta yang ada melalui pendekatan, metode, prosedur dan seterusnya merupakan penentu dalam berbagai macam ilmu pengetahuan yang diperoleh. Sehingga secara sangat umum dibedakan menjadi dua macam ilmu pengetahuan, yaitu ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial (F. Budi Hardiman: 2003).
             W. Dilthey salah seorang filsuf pengetahuan membedakan ilmu-ilmu alam Naturwissenschaften dan ilmu-ilmu roh/budaya Geisteswissenschaften. Ilmu alam ini meliputi fisika, kimia, matematika, biologi adalah barisan dari ilmu yang mengamati dari segi objek-objek alamiah dengan adanya kriteria validitas internal dan berpikir secara logis-deduktif. Sedangkan ilmu-ilmu budaya (sosial) adalah barisan ilmu yang mengamati gejala kemanusiaan dan kebudayaan dengan adanya kriteria eksternal grounded dan berpikir runtut secara ilmiah.
            Sepanjang dua dasawarsa lalu, dimana terjadi revolusi diam dalam metodologis ilmu-ilmu sosial sehingga memunculkan kekaburan batas-batas disiplin ilmu tersebut. Ilmu-ilmu sosial dan humaniora telah mulai bersinggungan untuk menyatakan fokus perhatian pada pendekatan kualitatif dan interpretif pada ranah penelitian dan teori. Hal ini dapat kita telisik dimana ketika terjadinya krisis pemikiran dan pengetahuan Barat-modern yang terjadi akibat adanya reduksi pada metodologi dan instrumentalisasi dari pengetahuan itu sendiri. Sehingga dapat ditandai dengan tumbangnya bangunan paradigma berpikir modern yang sangat kentara dengan alur dan bernuansa positivistik. Krisis pengetahuan yang terjadi sejak paro pertama abad ini, merupakan hasil perkembangan sejarah pemikiran yang terjadi sejak proses modernisasi di Barat meruntuhkan tatanan nilai masyarakat Abad Pertengahan, melalui Renaissance dan memuncak pada zaman Aufklarung dan akhirnya menemuai batas-batasnya sejak permulaan abad ini.
            Oleh banyak pemikir abad ini, cara berpikir masyarakat Abad Pertengahan secara kualitatif lebih bercorak metafisik, karenanya berbeda dan terpisah dengan masyarakat modern. Mereka meyakini adanya suatu tatanan dunia obyektif yang berdiri lepas dari subyek yang berpikir. Misalnya, mereka meyakini adanya kebenaran pada dirinya, pengetahuan pada dirinya, realitas tertinggi yang lepas dari dunia material ini. Sedangkan modernisasi yang didorong oleh sistem kapitalis, teknologi dan negara-negara sekuler menyangsikan dan mempertanyakan semua makna dunia objektif-tradisional, sehingga lahirlah suatu bangunan epistemologis bahwa subyek memiliki peran mutlak membentuk realitas. Pada titik ini, pendulum telah bergerak dari obyek ke subyek. Artinya, subyeklah yang membangun dan menciptakan realitas (F. Budi Hardiman: 2003, 51).
            Terdapat suatu pergeseran pendulum ini, yaitu dari obyek ke subjek namun tidak berlangsung lama. Positivisme telah berhasil membawa pendulum epistemologi kembali ke obyek lagi, akan tetapi obyek yang muncul dari kegiatan pengetahuan ini adalah obyek inderawi, bukan obyek spekulatif seperti ditampilkan pemikiran Abad Pertengahan, yang sama sekali tidak mau mengakui peranan subyek bahkan mengosongkan apa saja dalam diri subyek sehingga menjadi obyektif dan mekanis. Misalnya, dalam psikologi modern yang berdasarkan observasi empiris: konsep-konsep seperti kecemasan, rasa bersalah, perilaku, pikiran, diformalisasikan dan dipermisikan dari unsur-unsur subjektif. Demikian pula dalam ilmu-ilmu sosial, manusia diobservasi pada permukaan obyektifnya, lalu semua yang ditemukan dalam dimensi obyektif manusia juga digeneralisasi sebagai dimensi subyektifnya.
            Dari sini, positivisme tampak ingin menjadi alternatif paradigma manusia modern yang ingin menyatukan berbagai bidang kenyataan dalam ilmu pengetahuan. Positivisme berkeinginan untuk membangun kembali tatanan obyektif baru yang bukan didasarkan pada metafisika, melainkan pada metode saintisme ilmu-ilmu alam. Pada titik ini, apa yang disebut ‘krisis’ itu muncul. Saintifikasi terhadap berbagai bidang hidup mengimplikasikan penerapan teknologisasi dalam berbagai bidang hidup yang akhirnya mereduksi manusia pada matra obyektifnya. Usaha mengilmiahkan masyarakat dan kehidupan pada gilirannya akan mempermiskin dan mengosongkan makna kehidupan manusia itu sendiri.
            Persoalan serius yang harus dibahas dalam krisis pengetahuan dan kemanusiaan Barat bukanlah pandangan positivistis, yang memang sesuai bila diterapkan pada ilmu-ilmu alam, melainkan positivisme atau penerapan metode ilmu-ilmu alam pada ilmu-ilmu sosial. Adapun kita ketahui bersama bahwa tujuan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial tentu bersifat praktis, yaitu memberikan pendasaran pengetahuan tentang aturan-aturan yang mengatur masyarakat dan mengadakan susunan masyarakat yang lebih sempurna.
            Dengan memasukkan ilmu-ilmu sosial kepada metode ilmu-ilmu alam, tentu akan sangat problematis. Sebab, keduanya memiliki obyek observasi berbeda. Masyarakat dan manusia sebagai obyek ilmu-ilmu sosial tentu tidak dapat diprediksi dan dikuasai secara teknis seperti obyek ilmu-ilmu alam yang bersifat ahistoris. Sebaliknya, masyarakat dan manusia dengan segala proses-proses sosial yang terdiri dari tindakan-tindakan manusia hanya dapat dipahami dengan pengetahuan yang terus berkembang dan pemahaman di luar subyek.
            Ternyata pada saat ini pengaruh dari positivisme terhadap ilmu-ilmu sosial menjadi sangat kuat, meski banyak kalangan mengatakan bahwa menguatnya diskursus teori sosial kritis dan post-modern merupakan babak baru yang bersifat sementara bagi positivisme. Banyaknya perspektif ilmu-ilmu sosial (sosiologi) mengenai masyarakat yang merupakan manifestasi dari sudut pandang positivisme seperti teori evolusionisme, struktural fungsional, struktural konflik, dan teori sistem meruapakan salah satu buktinya. Teori-teori itu memberikan perhatian utama kepada fakta sosial, khususnya menyangkut struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social institution). Tentu saja dengan memperhatikan dua hal itu (struktur sosial dan pranata sosial), tidak akan mampu menemukan sesuatu yang penting dalam masyarakat dan manusia. Karena dua hal tersebut sifatnya superficial, yakni hanya mampu mengupas dimensi-dimensi eksternal dan hal-hal yang ada dipermukaan manusia.

Post-Modernisme sebagai paradigma berpikir
            Gerakan pencerahan (humanisme) Barat menjadikan manusia sebagai pusat, dan menegaskan tentang rasionalitasnya serta kemampuannya melampaui dirinya dan lingkungannya tanpa mengetahui hal-hal yang non-rasial. Modernisasi merupakan sebuah proyek yang normatif di negara-negara berkembang dan modernitas menjadi tujuan yang didambakan, Edward Shils mengatkan “suatu kehendak untuk modern”. Begitu juga dengan pandangan Hegel, Marx dan Toeri Kritis yang menegaskan bahwa setiap masyarakat terdiri atas makhluk-makhluk rasional dan seiring perkembangannya menuju semakin rasional untuk dapat menentukan diri. Bahkan Habermas mengindikasikan bahwa masyarakat sedang berkembang menjadi semakin rasional dalam arti menuju modernitas (F. Budi Hardiman: 2003, 150).
            Pandangan Habermas inilah yang harus menjadi pegangan masyarakat manusia yang meyakinkan pada dirinya bahwa rasio manusia sifatnya universal dan dengan kekuatan rasio manusia dapat mewujudkan kebabasan dan kebahagiannya sendiri tanpa menunggu takdir. Artinya bahwa sebuah rasionalitas itu tidak hanya mungkin, tetapi juga secara normatif sedang dituju oleh segala bentuk masyarakat, sebatas ilmu dan tekhnologi menjadi agen perubahannya.
            Para pemikir Barat, Heidegger, Horkheimer dan Andorno berusaha untuk mengcounter modernisasi tersebut, yakni modernisasi adalah sejarah panjang yang tidak dapat dipastikan dan tidak dapat sampai pada tingkat kepuasaan modernisasi itu sendiri, akan tetapi apabila modernisasi itu dijadikan sebagai sebuah kerangka objektif-nasional, maka sebuah disintegrasi total sebuah negara yang akan terjadi. Hal ini disebabkan karena ide “kehendak untuk menjadi modern” merupakan label dari “nafsu” sebagai “kehenda untuk berkuasa”. Dan pada gilirannya akan menjadi sebuah restored totalitarianism, yang pada awalnya modernisasi itu merupakan cita-cita abad Pencerahan di Barat dan  sebagai pelepasan masyarakat dari ancaman feodalisme dan dari kungkungan birokratisme dan teknokratisme.
            Ada dua pandangan dalam pemikiran Barat Kontemporer yang menjadikan dirinya berpijak pada salah satu pandangan tersebut. Pertama mereka yang mendukung modernitas sebagai tujuan universal segala bentuk masyarakat, sedangkan yang kedua berupaya meninggalkan modernitas. Dalam hal ini kedua belah pihak merupakan berposisi sama-sama menggunakan kesadaran kritis dalam mengemukakan pandangan-pandangannya mengenai modernitas. Kedua belah pihak merupakan radikal atas saintisme dan positivisme yang mendominasi situasi intelektual abad ke-20. Habermas adalah sebagai tokoh yang berpengaruh dalam pandangan pertama tentang modernitas, dan pandangan kedua mereka para ahli waris Nietzche, seperti Heidegger, Derrida, Foucault, Bataille, Baudrillard, dengan sebutan post-modernis. (F. Budi Hardiman: 2003, 152).
            Post-Modernisme adalah suatu pandangan yang berupa penolakan terhadap asumsi-asumsi rasionalitas yang telah tertanam kuat, epsitimologi Barat tradisional, atau representasi realitas yang dianggap paling “aman”. Post-modernisme mengarahkan pada mitos tentang subjek yang otonom transendental, dan konsep tentang praksis yang dimarjinalkan demi mendukung ketidakpastian retoris dan analisis tekstual terhadap berbagai praktek sosial. Post-modernisme ini menjadikan gagasan yang menyatakan bahwa makna dibawa oleh kejenakaan yang terus menerus dari sang penanda (signifer) sebagai titik tolaknya. (Norman K. Denzin, Yvonna S. Lincoln: 2009, 178).
            Pembahasan ini dimulai dengan sosok tokoh post-modernisme, Jacques Derrida (1930 M) seorang filosof perancis yahudi. Dia menganut aliran filsafat non rasial kontemporer. Dia banyak terpengaruh dengan Nietsche dan filosof serta pemikir lainnya (Sartre, Martin heidegger, Emanuell leibnizts, pemikir perancis yahudi).
            Mengenai beragamnya definisi postmodernisme, Kvale (2006) berpendapat bahwa istilah postmodernisme, yang berasal dari istilah posmodern, yaitu dapat sangat luas, kontroversial, dan ambigu. Hal ini terlihat dari pembagian pengertian yang Kvale (2006) lakukan untuk membedakan istilah postmodern tersebut yaitu : Postmodernitas yang berkaitan dengan era post-modern, Post-modernism yang berkaitan dengan ekspresi kultural era post-modern, dan pemikiran post-modern, atau wacana, yang berkaitan dengan refleksi filosofis dari era dan budaya post-modern.

Case Kebudayaan Post-Modernisme
            Adalah sebuah terma yang dipakai untuk menjabarkan masyarakat pada era informasi sekarang ini dimana secara sosial dipenuhi oleh bentuk-bentuk representasi/sajian yang terus meningkat, seperti perfilman, fotografi, elektronik, automotif dan sebagainya. Semua ini telah menimbulkan dampak hebat dalam men­ciptakan narasi kebudayaan yang membentuk identitas kita. Drama kehidupan sedemikian sering ditayangkan di televisi sehingga individu-individu dimana sebagian besar semakin mampu memprediksi berbagai hasil dan memandang hasil-hasil yang demikian yakini sebagai arah kehidupan sosial yang "alami” dan "normal." (Gergen, 1991).
            Seperti ungkapan kebanyakan analis post-modernisme, kita telah menjadi pengekor, sebagai konglomerasi imitatif satu sama lain. Dalam kondisi yang demikian itu kita mendekati kehidupan dengan sedikit
perasa
an, dengan perasaan bosan post-modern dan kecemasan yang tak bisa dimaafkan. Ikatan-ikatan emosional kita terurai seiring dengan serangan televisi, komputer, handphone, Internet, VCD, dan DVD sehingga kita terharuskan mengikuti dan memeiliki barang-barang tersebut. terhadap kita dengan berbagai sajian yang telah membentuk fasilitas kognitif dan afektif kita melalui cara-cara yang masih belum dipahami dengan memadai. Di bidang politik, kaum tradisionalis menyekat dan membentengi melalui budaya mereka dan menyingkirkan kaum khayalan seperti humanis sekuler, liberal ekstrem," dan kaum utopianis, yang tidak menyadari bahwa dampak yang ditimbulkan oleh hiperrealitas post-modern terhadap lembaga-lembaga mereka yang disakralkan. Keluarga inti, misalnya, telah menurun nilainya bukan karena serbuan "kaum feminis radikal" namun karena rumah telah didefenisikan kembali melalui kehadiran berbagai komunikasi elektronik yang dipandang wajar.
            Bentuk-bentuk informasi tertentu menempatkan anggota individual keluarga dalam hubungan yang konstan dengan subkultur tertentu pula. Meskipun secara fisik mereka berada di rumah, namun secara emosional mereka berada di luarnya melalui efek-efek penghubung dari berbagai bentuk komunikasi. Kita seharusnya terus berusaha memahami dunia sosial dan menilai kebudayaan-kebudayaan lain melalui genre televisi yang terikat dengan budaya dan konvensio­nal. Hiperrealitas telah memperkenalkan kita dengan berbagai bentuk literasi baru yang tidak hanya mengacu pada berbagai keterampilan tertentu tetapi juga membentuk berbagai keterampilan sosial dan relasi-relasi kekuasaan simbolik. Teknologi-teknologi baru ini tidak bisa dipandang terpisah dari konteks sosial dan kelembagaan yang di dalamnya mereka digunakan dan peran yang dimainkannya dalam keluarga, komunitas, dan tempat kerja. Teknologi tersebut juga perlu dilihat dari sudut bagaimana "kompetensi mempublikasi" telah terdistribusikan secara sosial dan berbagai praktik sosial yang berbeda bahkan diskursif, yang di dalamnya literasi media yang baru ini dihasilkan.
Transmisi elektronik menghasilkan formasi­-formasi baru, dimana ruang kebudayaan dan menyusun kembali pengalaman akan waktu. Kita sering kali terdorong untuk memperdagangkan keanggotaan komunitas demi kepemilikan semu (pseudobelonging) dunia media (mediascape).
Dengan memfokuskan pada era kemajuan informasi ini, dengan kemajuan yang telah diadopsi dan diyakini sebagai arah kehidupan sosial yang alami dan normal. Pada akhirnya akan berdampak pada bentuk kesadaran individualisme, kritik dan kebebasan terhadap kapitalisme melalui media dan sistem politik yang liberal dimana adanya bentuk-bentuk kesadaran terhadap bentuk penipuan yang dilakukan oleh kemajuan tekhnologi yang hanya mementingkan kelompok kepentingannya dan juga berpretensi untuk menjadikannya sebagai bentuk-bentuk penindasan gaya baru.
           
Konsistensi dalam menentukan mazhab Post-Positivisme
            Adapun posisi penulis setelah dipaparkan dari pernyataan di atas menggunakan pendekatan pada post-positivisme. Dengan ontologinya berdasarkan pada realisme kritis, epistimologi objektivis yang dimodifikasi dan metodologi eksperimental (keragaman argumentatif). Untuk itu seseorang yang mempelajari ilmu politik dan ingin mendeklarasikan dirinya sebagai seseorang mempunyai pendekatan dalam berpikir, maka dalam hal ini harus diperhatikan konsistensi seseorang dalam menentukan mazhab dan penggunaannya. Terlebih dahulu memahami bahwa tahapan-tahapan dalam kajian mazhab tersebut. Baik itu berupa epistimologi, yaitu berupa pengetahuan tentang apa yang dikaji, ontologi, tentang hakikat dasar dari realitas yang ada, aksiologi dan metodolgi, yakni bagaimana cara kita meraih pengetahuan tersebut.
            Selanjutnya dimulai dengan membaca dan menyadari pendekatan yang bagaimana yang seharusnya menjadi dasar kita dalam berpikir dengan membandingkan pendekatan-pendekatan yang ada dengan realitas pemikiran yang kita gunakan. Untuk selanjutnya memilih metodologi dalam memperoleh pengetahun tersebut sesuai dengan alur yang telah kita dapatkan, dan untuk selanjutnya mencoba memakai perbendaharaan kata-kata atau istilah yang menjadi trend dan pemikiran para tokoh penggagas pendekatan dalam berpikir tersebut.
            Dan yang terakhir adalah bagaimana kita telah menemukan suatu pendekatan dalam berpikir, contohnya berpikir yang positivistik atau post-positivistik untuk selanjutnya di terapkan dalam berpikir, menganalisa dan membuat kerangka dan penelitian yang dapat membantu proses perkembangan ilmu itu sendiri.


Daftar Bacaan

Denzin K. Norman, Lincoln S. Yvonna. 2009. Handbook of Qualitatif Research.     Pustaka Pelajar; Yogyakarta
Gergen, K.J. 1991. The Saturated Self: Dilemmas of Identity in Contemporary       Life. Basic Book. New York
Hardiman F. Budi. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Kanisius;            Yogyakarta
Kvale, Steiner. 2006. Psikologi dan Posmodernisme. Pustaka Pelajar;        Yogyakarta


1 komentar:

  1. Baccarat | Best online casino for beginners
    Betway offers hundreds of different casino 온카지노 games and bonuses to you every 바카라 사이트 day, from blackjack to roulette and baccarat to 바카라 사이트 live dealer casino.

    BalasHapus