Rabu, 11 Mei 2011

Politisasi Ujian Nasional


Politisasi Ujian Nasional
Oleh: Sutrisno Stabat[1]
           
Nasionalisasi ujian akhir hari ini sedang berlangsung untuk tingkat SMA sederajat, yang dimulai dari tanggal 18-21 April 2011 mendatang. Pemerintah dalam hal ini memberlakukan ujian nasional dari tahun ke tahun, sebagai bentuk penilian dan kontrol terhadap peserta didik secara nasional dari tingkat dasar sampai menengah. Sebagai penjelmaan atas amanat Undang-Undang dan kepedulian terhadap pendidikan di negeri ini.
Pasca dikeluarkannya Undang-Undang 32/2004 tentang otonomi daerah yang mengilhami dari pengekangan dan penyeragaman atas daerah pada masa Orde Baru berlangsung, menjadikan daerah memiliki hak seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri secara independen dan bertanggung jawab. Akan tetapi dalam hal ini masih ada pengaturan dan wewenang yang mengharuskan daerah untuk tetap tunduk dan patuh terhadap pemerintah pusat.
Hal ini dapat kita lihat pada pasal 22 UU. 32/2004 yang menyatakan “daerah mempunyai hak dan kewajiban untuk meningkatkan pelayanan dasar pendidikan”. Maksudnya adalah bahwa pemerintah daerah hanya diberi hak untuk melayani pendidikan dan bukan malah menjamin peningkatan mutu pendidikan. Daerah tidak diberi hak untuk menentukan standart mutu pendidikan bagi daerahnya, akan tetapi hanya diberi wewenang sebagai pelayan yang baik bagi masyarakatnya (public service) sebagai upaya untuk meningkatkan good governance.
Setidaknya, ada masalah yang selalu saja berulang-ulang setiap tahunnya. Ujian akhir nasional (UAN) selalu menjadi problem yang seolah-olah tidak pernah habis untuk dibahas di negeri ini. Dimulai dari mekanisme penyelenggaran UAN, standart kelulusan sampai kepada masalah kebocoran soal ujian itu sendiri. Semua masalah tersebut pada dasarnya bersumber dari satu titik masalah yakni politisasi ujian nasional itu sendiri.
Pilihan pemerintah pusat untuk melakukan penyeragaman dan “pengekangan” terhadap pendidikan terutama UAN, menjadikan pemerintah harus memikirkan sesuatu yang sebenarnya bukan menjadi tanggungjawab negara (kalau melihat negara-negara maju), akan tetapi itu merupakan tanggungjawab pemerintah daerah sebagai bentuk dari pelayanan dan penguatan terhadap masyarakatnya. Pemerintah daerah yang telah diberikan keleluasaan oleh pemerintah pusat untuk mengurus dan mengatur daerahnya sendiri seharusnya dijadikan sebagai penentu untuk setiap kebijakan atas kelulusan di setiap daerah dengan cara membuat ujian akhir daerah (UAD).
Kemudian dalam hal ini pemerintah pusat seharusnya hanya sebagai pemandu dan monitoring dari setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah untuk setiap penyelenggaraan ujian akhir daerah (UAD). Yakni, sebagai bentuk dari implementasi preamble UUD 1945 “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Oleh karena itu, politisasi dalam pendidikan harus segera dihilangkan, agar tercipta pendidikan yang mempunyai standart di setiap daerah. Tujuannya adalah menciptakan kontestasi antar kepala daerah untuk meningkatkan mutu pendidikan yang sebaik-baiknya dan ideal seperti yang diharapkan pemerintah pusat.
Menjadi ironis sekarang, ketika politisai pendidikan itu tidak segera dihilangkan. Implikasinya adalah kita akan kembali lagi kepada rezim yang lalu walaupun pemerintahan sudah berubah. Rezim yang tidak menyukai keberagaman dan perbedaan. Akan kah kita mengulanginya kembali? Maka kita sendiri yang memilih dan menilainya. UAN merupakan salah satu bentuk dari penyeragaman diantara pluralitas yang ada, pengekangan dan adanya kewajiban untuk memenuhi standart yang telah ditetapkan dengan ukuran nilai kelulusan yang harus ditentukan selama empat hari. Menjadi hal yang menyedihkan bila sekolah yang berada di pusat kota Jakarta dengan segala kemajuan informasi dan teknologi pendidikannya harus diseragamkan dengan sekolah yang berada di pedalaman papua.
Untuk itu, pemerintah daerah harus mendesak pemerintah pusat agar ujian akhir nasional (UAN) dilakukan dengan standart yang ditentukan oleh pemerintah daerah. Tujuannya adalah agar tidak terjadi ketimpangan dan perbedaan dalam standart kelulusan di setiap daerah. Kemudian, agar pemerintah pusat lebih memfokuskan diri untuk menyelesaikan masalah-masalah nasional yang berkaitan dengan diplomasi, fiskal, pertahanan dan agama.

Ujian Akhir Nasional (UAN) = Untuk Adu Nilai (UAN)
              Dari tahun ke tahun, dapat kita jumpai perubahan yang terjadi pada formula pemerintah dalam menentukan kelulusan. Pemerintah pusat mempunyai wewenang mutlak dalam menentukan setiap kelulusan peserta didik dengan standart yang ditentukan. Nilai menjadi prioritas pemerintah dan bukan malah kualitas peserta didik yang diperhatikan.
Hal inilah yang menjadi streotipe (cara pandang) peserta didik bahwa, nilai adalah tujun yang harus dikejar dan bukan peningkatan kualitas siswa yang menjadi prioritas. Kualitas semakin dikesampingkan dan bukan bakat yang dikedepankan. Menjadi sesuatu yang biasa, apabila kita mendengar ketika para peserta didik yang berada di jenjang pendidikan dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi mengukur kecerdasannya dilihat apabila ia berhasil mendapatkan nilai yang tinggi. Inilah streotipe yang telah berkembang disekitar kita dan harus segera dirubah.
Berbeda dengan negara-negara maju yang lebih mementingkan kualitas peserta didik daripada nilai yang baik. Peserta didik dituntut untuk berpikir mandiri dan berkarya semenjak tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tidak mengherankan ketika kita mendengar Kathryn Gray yang berusia 10 tahun, menemukan supernova (bintang yang meledak) dalam ilmu astronomi, Mark Zuckerberg penemu Facebook yang droup out dari kuliahnya, Alfred Bernhard Nobel yang menemukan dinamit dan lain-lain. Semua berawal dari ketertarikan mereka terhadap minat dan bakat yang harus dikembangkan, yang kemudian difasilitasi oleh negara. Hal inilah yang menjadikan negara-negara maju berhasil dalam mendidik para siswa-siswinya. Bakat menjadi ukuran pertama dan bukan nilai yang menjadi tujuan mereka.
Oleh karena itu, UAN diharapkan bukan hanya dijadikan sebagai salah satu standart pemerintah dalam menentukan kelulusan. Akan tetapi yang lebih penting adalah menanamkan kepada peserta didik untuk kreatif dan aktif menggali bakat mereka yang sudah tertanam pada diri setiap manusia, untuk dikembangkan dan dijadikan sebagai prioritas utama dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Sudah saatnya pendidikan yang berbasis pada standart nilai harus dihilangkan, diganti dengan pendidikan yang berbasis kepada kualitas dan bakat para siswa-siswi untuk bisa menjadikan mereka calon-calon penerus masa depan bangsa yang berprestasi dan unggul dibidangnya dengan fasilitasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan pusat tentunya.

Kesimpulan
Ujian Akhir Nasional (UAN) merupakan penyelenggaraan pemerintah dalam bentuk kontrol terhadap pendidikan di negeri ini. Ia merupakan penentu dari proses belajar mengajar selama tiga tahun. Dengan berbasis kepada standart kelulusan dengan nilai yang telah ditentukan, maka para siswa-siswa mengalami suatu cara pandang yang mengharuskan dirinya untuk mencapai standart yang sudah ditentukan. Oleh karena itu, UAN bukan menjadi jawaban atas setiap masalah pendidikan. Akan tetapi ia lebih merupakan salah satu bentuk pembiaran pemerintah dengan alasan meningkatkan mutu pendidikan dengan standart nilai yang sudah ditentukan. Untuk itu, standart nilai kelulusan harus diberikan kepada daerah sebagai bentuk dari amanat UU. 32/2004 dan preamble UUD 1945. Untuk itu, pemerintah pusat dan daerah harus lebih meningkatkan kerjasama dengan cara mengelola Ujian akhir nasional (UAN) digantikan dengan Ujian akhir daerah (UAD). Sebagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di setiap daerah yang kemudian dapat berimplikasi terhadap daya saing dengan daerah yang lain, terutama dengan negara-negara yang sudah maju dalam hal mutu pendidikan.



                [1] Mahasiswa Pascasarjana Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Dan aktif dalam lembaga kajian Center for Learning Education and Democracy (Center for Lead)  Yogyakarta.

Fenomena Kutu Loncat


Fenomena “Kutu Loncat”

Oleh: Sutrisno Stabat[1]

Pembicaraan seputar ideologi politik kembali muncuat ke permukaan, ketika ada fenomena hengkangnya sebagian para aktor dari partai politik yang telah mendidik dan membesarkan namanya. Paling tidak, hal ini dapat kita telaah secara filosofis bahwa “tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan”. Prinsip inilah yang “mungkin” bisa menjelaskan hengkangnya para aktor politik yang berpindah dari satu parpol ke parpol yang lainnya. Memang tidak ada jawaban pasti dalam dunia politik, semua bisa terjadi dan bahkan yang tidak terpikirkan oleh kita sekalipun.
 Sebut saja Dede Yusuf yang menjadi wakil gubernur Jawa Barat yang menjadi kader PAN, Gamawan Fauzi yang di usung PDI-P saat menjadi gubernur Sumatera Barat, Muhammad Zainul Madji selaku gubernur Nusa Tenggara Barat yang di usung partai Bulan Bintang (PBB) dan gubernur Sulawesi Utara Sinyo Harry Sarundajang yang di usung juga oleh PDI-P . Mereka hengkang dari partai semula dan berpindah ke partai Demokrat. Kemudian, ada Ali Mochtar Ngabalin yang dahulunya berasal dari partai Bulan Bintang (PBB) kemudian loncat ke partai Golkar. Permadi, SH yang berasal dari partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) juga loncat ke partai Hanura dan Fuad Bawazier yang sebelumnya bergabung di PAN, kemudian loncat ke partai Hanura dan menjadi dedengkotnya di sana. Tentu masih banyak lagi bila diruntut lebih jauh lagi.
Untuk melihat fenomena kutu loncat ini, maka pertanyaan yang muncul kemudian bagaimana menjelaskan fenomena kutu loncat ini dan apa implikasinya terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia ke depan ?
Dalam perspektif teori Alderfer (1972), setiap orang mempunyai kebutuhan yang tersusun secara hirarki menjadi tiga bagian, yakni kebutuhan eksistensi, kebutuhan keterkaitan dan kebutuhan pertumbuhan. Untuk itu penting sekali dalam hal ini sebuah tindakan dan perilaku politik dalam fenomena kutu loncat ini akan menjelaskan realitas yang terjadi.
Pertama, kebutuhan eksistensi merupakan kebutuhan untuk selalu eksisten/ada. Dimana pasca reformasi dengan hadirnya pemilihan yang multipartai semakin mengindikasikan dan menguntungkan mereka untuk loncat atau malah membuat partai baru untuk menyatakan bahwa mereka masih tetap eksis dan memiliki tujuan yang sama yakni mendapatkan kekuasaan. Akan tetapi ada konskwensi yang ditimbulkan yakni semakin hilangnya hal-hal yang bersifat ideologis. Hadirnya mereka ke parpol yang lain atau malah membuat parpol yang baru merupakan hasil dari kurang dihargainya atau malah teralienasinya mereka dari parpol sebelumnya.
Hal inilah yang kemudian ‘mungkin’ dapat menjelaskan bagaimana kutu loncat itu hadir. Mereka hadir atas adanya proses konstruksi yang matang dan adanya perhitungan untung rugi yang telah mereka pikirkan sebelumnya. Hal inilah yang kemudian akan berimplikasi kepada faktor loyalitas dan ideologi politik tidak menjadi penting lagi. Dengan semakin menurunnya faktor ideologi maka, akan mengakibatkan menurunnya fanatisme dan gagasan dari konstituennya. Penjelasan kemudian tentang mengapa praktek konsumerisme dan pragmatisme para aktor politik semakin akut dan menjadi-jadi yakni; karena mereka mendasarkan parpol tidak lagi berdasarkan atas ideologi yang mengakar pada aktor politik tersebut, akan tetapi mereka hanya mendasarkan pada upaya bagaimana mencapai kemenangan dan merebut kekuasaan yang telah ada tanpa ideologi yang utama.
Kedua, kebutuhan keterkaitan merupakan kebutuhan untuk senantiasa berkaitan dengan interaksi sosial terhadap kekuatan-kekuatan politik yang ada. Upaya partai politik untuk meminang aktor-aktor potensial yang menjadikan mereka kadernya tanpa harus melalui proses pengkaderan merupakan sesuatu yang wajar pasca reformasi. Tujuanya adalah bagaimana memenangkan persaingan pada saat pemilihan dengan meminang aktor-aktor partai politik yang lain dengan konkwensi adanya pemberian jabatan/kekuasaan yang akan di dapatkan tanpa harus melalui proses pengkaderan. Hal inilah yang kemudian berimplikasi kepada hadirnya manuver politik para aktor untuk meloncat dari partai satu ke partai yang lain karena adanya tawaran politis yang menggiurkan aktor tersebut dalam memudahkan dirinya meraih kekuasaan.
Ketiga, kebutuhan pertumbuhan merupakan hal yang bersumber dari daya kreatif dan produktif para aktor politik tersebut. Mereka dituntut untuk produktif dan kreatif dalam mengelola partai sebagai representasi dari konstituennya. Akan tetapi, fenomena yang muncul kemudian partai politik tumbuh dan berkembang dalam masa-masa menjelang pemilu berlangsung. Partai politik tidak lagi mengadakan kadarisasi, edukasi dan pemantapan ideologi partai yang sebenarnya merupakan ruh dari partai itu sendiri. Tersendatnya saluran fungsi politik menjadikan para aktor dan kader politik mencari jalan lain dengan loncat ke partai yang lain sebagai bentuk dari legitimasi para aktor untuk melakukan daya kreatif dan lebih produktif di partai yang lain.
Akhirnya, fenomena kutu loncat merupakan bentuk dari kesadaran dari para aktor politik dan juga merupakan bentuk pengabaian partai politik sebagai salah satu pilar dari demokrasi. Partai politik tidak lagi mengedepankan ideologi partai sebagai ruh dari perjuangan partai. Akan tetapi lebih mengedepankan semangat bagaimana memenangkan kompetisi pada saat pemilihan berlangsung, dengan cara meminang para aktor politik yang potensial dari partai lain yang dijadikan sebagai icon baru partai. Hal ini bertujuan untuk mendulang suara dan mencapai kekuasaan yang ada tanpa memikirkan ideologi partai dan para kader partai yang sudah antri sebelumnya.



[1] Mahasiswa Pascasarjana Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Dan aktif dalam lembaga kajian Center for Learning Education and Democracy (Center for Lead)  Yogyakarta.

Jumat, 18 Februari 2011

MENUJU POST-POSITIVISME DALAM BERPIKIR POST-MODERNISME


Pendahuluan
            Terdapat berbagai elemen yang sekaligus menjadi penanda kemandirian bidang ilmu pengetahuan adalah teori dan metodologi. Dengan demikian adakalanya metode penelitian menjadi ciri yang khas dari ilmu yang bersangkutan, sehingga tujuan dalam setiap penelitian dan observasi adalah pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang kenyataan. Melalui berbagai macam objek penelitian dalam menentukan berbagai macam ilmu pengetahuan yang dihasilkannya, dan dalam hal ini filsafat pengetahuan dengan fakta yang ada melalui pendekatan, metode, prosedur dan seterusnya merupakan penentu dalam berbagai macam ilmu pengetahuan yang diperoleh. Sehingga secara sangat umum dibedakan menjadi dua macam ilmu pengetahuan, yaitu ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial (F. Budi Hardiman: 2003).
             W. Dilthey salah seorang filsuf pengetahuan membedakan ilmu-ilmu alam Naturwissenschaften dan ilmu-ilmu roh/budaya Geisteswissenschaften. Ilmu alam ini meliputi fisika, kimia, matematika, biologi adalah barisan dari ilmu yang mengamati dari segi objek-objek alamiah dengan adanya kriteria validitas internal dan berpikir secara logis-deduktif. Sedangkan ilmu-ilmu budaya (sosial) adalah barisan ilmu yang mengamati gejala kemanusiaan dan kebudayaan dengan adanya kriteria eksternal grounded dan berpikir runtut secara ilmiah.
            Sepanjang dua dasawarsa lalu, dimana terjadi revolusi diam dalam metodologis ilmu-ilmu sosial sehingga memunculkan kekaburan batas-batas disiplin ilmu tersebut. Ilmu-ilmu sosial dan humaniora telah mulai bersinggungan untuk menyatakan fokus perhatian pada pendekatan kualitatif dan interpretif pada ranah penelitian dan teori. Hal ini dapat kita telisik dimana ketika terjadinya krisis pemikiran dan pengetahuan Barat-modern yang terjadi akibat adanya reduksi pada metodologi dan instrumentalisasi dari pengetahuan itu sendiri. Sehingga dapat ditandai dengan tumbangnya bangunan paradigma berpikir modern yang sangat kentara dengan alur dan bernuansa positivistik. Krisis pengetahuan yang terjadi sejak paro pertama abad ini, merupakan hasil perkembangan sejarah pemikiran yang terjadi sejak proses modernisasi di Barat meruntuhkan tatanan nilai masyarakat Abad Pertengahan, melalui Renaissance dan memuncak pada zaman Aufklarung dan akhirnya menemuai batas-batasnya sejak permulaan abad ini.
            Oleh banyak pemikir abad ini, cara berpikir masyarakat Abad Pertengahan secara kualitatif lebih bercorak metafisik, karenanya berbeda dan terpisah dengan masyarakat modern. Mereka meyakini adanya suatu tatanan dunia obyektif yang berdiri lepas dari subyek yang berpikir. Misalnya, mereka meyakini adanya kebenaran pada dirinya, pengetahuan pada dirinya, realitas tertinggi yang lepas dari dunia material ini. Sedangkan modernisasi yang didorong oleh sistem kapitalis, teknologi dan negara-negara sekuler menyangsikan dan mempertanyakan semua makna dunia objektif-tradisional, sehingga lahirlah suatu bangunan epistemologis bahwa subyek memiliki peran mutlak membentuk realitas. Pada titik ini, pendulum telah bergerak dari obyek ke subyek. Artinya, subyeklah yang membangun dan menciptakan realitas (F. Budi Hardiman: 2003, 51).
            Terdapat suatu pergeseran pendulum ini, yaitu dari obyek ke subjek namun tidak berlangsung lama. Positivisme telah berhasil membawa pendulum epistemologi kembali ke obyek lagi, akan tetapi obyek yang muncul dari kegiatan pengetahuan ini adalah obyek inderawi, bukan obyek spekulatif seperti ditampilkan pemikiran Abad Pertengahan, yang sama sekali tidak mau mengakui peranan subyek bahkan mengosongkan apa saja dalam diri subyek sehingga menjadi obyektif dan mekanis. Misalnya, dalam psikologi modern yang berdasarkan observasi empiris: konsep-konsep seperti kecemasan, rasa bersalah, perilaku, pikiran, diformalisasikan dan dipermisikan dari unsur-unsur subjektif. Demikian pula dalam ilmu-ilmu sosial, manusia diobservasi pada permukaan obyektifnya, lalu semua yang ditemukan dalam dimensi obyektif manusia juga digeneralisasi sebagai dimensi subyektifnya.
            Dari sini, positivisme tampak ingin menjadi alternatif paradigma manusia modern yang ingin menyatukan berbagai bidang kenyataan dalam ilmu pengetahuan. Positivisme berkeinginan untuk membangun kembali tatanan obyektif baru yang bukan didasarkan pada metafisika, melainkan pada metode saintisme ilmu-ilmu alam. Pada titik ini, apa yang disebut ‘krisis’ itu muncul. Saintifikasi terhadap berbagai bidang hidup mengimplikasikan penerapan teknologisasi dalam berbagai bidang hidup yang akhirnya mereduksi manusia pada matra obyektifnya. Usaha mengilmiahkan masyarakat dan kehidupan pada gilirannya akan mempermiskin dan mengosongkan makna kehidupan manusia itu sendiri.
            Persoalan serius yang harus dibahas dalam krisis pengetahuan dan kemanusiaan Barat bukanlah pandangan positivistis, yang memang sesuai bila diterapkan pada ilmu-ilmu alam, melainkan positivisme atau penerapan metode ilmu-ilmu alam pada ilmu-ilmu sosial. Adapun kita ketahui bersama bahwa tujuan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial tentu bersifat praktis, yaitu memberikan pendasaran pengetahuan tentang aturan-aturan yang mengatur masyarakat dan mengadakan susunan masyarakat yang lebih sempurna.
            Dengan memasukkan ilmu-ilmu sosial kepada metode ilmu-ilmu alam, tentu akan sangat problematis. Sebab, keduanya memiliki obyek observasi berbeda. Masyarakat dan manusia sebagai obyek ilmu-ilmu sosial tentu tidak dapat diprediksi dan dikuasai secara teknis seperti obyek ilmu-ilmu alam yang bersifat ahistoris. Sebaliknya, masyarakat dan manusia dengan segala proses-proses sosial yang terdiri dari tindakan-tindakan manusia hanya dapat dipahami dengan pengetahuan yang terus berkembang dan pemahaman di luar subyek.
            Ternyata pada saat ini pengaruh dari positivisme terhadap ilmu-ilmu sosial menjadi sangat kuat, meski banyak kalangan mengatakan bahwa menguatnya diskursus teori sosial kritis dan post-modern merupakan babak baru yang bersifat sementara bagi positivisme. Banyaknya perspektif ilmu-ilmu sosial (sosiologi) mengenai masyarakat yang merupakan manifestasi dari sudut pandang positivisme seperti teori evolusionisme, struktural fungsional, struktural konflik, dan teori sistem meruapakan salah satu buktinya. Teori-teori itu memberikan perhatian utama kepada fakta sosial, khususnya menyangkut struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social institution). Tentu saja dengan memperhatikan dua hal itu (struktur sosial dan pranata sosial), tidak akan mampu menemukan sesuatu yang penting dalam masyarakat dan manusia. Karena dua hal tersebut sifatnya superficial, yakni hanya mampu mengupas dimensi-dimensi eksternal dan hal-hal yang ada dipermukaan manusia.

Post-Modernisme sebagai paradigma berpikir
            Gerakan pencerahan (humanisme) Barat menjadikan manusia sebagai pusat, dan menegaskan tentang rasionalitasnya serta kemampuannya melampaui dirinya dan lingkungannya tanpa mengetahui hal-hal yang non-rasial. Modernisasi merupakan sebuah proyek yang normatif di negara-negara berkembang dan modernitas menjadi tujuan yang didambakan, Edward Shils mengatkan “suatu kehendak untuk modern”. Begitu juga dengan pandangan Hegel, Marx dan Toeri Kritis yang menegaskan bahwa setiap masyarakat terdiri atas makhluk-makhluk rasional dan seiring perkembangannya menuju semakin rasional untuk dapat menentukan diri. Bahkan Habermas mengindikasikan bahwa masyarakat sedang berkembang menjadi semakin rasional dalam arti menuju modernitas (F. Budi Hardiman: 2003, 150).
            Pandangan Habermas inilah yang harus menjadi pegangan masyarakat manusia yang meyakinkan pada dirinya bahwa rasio manusia sifatnya universal dan dengan kekuatan rasio manusia dapat mewujudkan kebabasan dan kebahagiannya sendiri tanpa menunggu takdir. Artinya bahwa sebuah rasionalitas itu tidak hanya mungkin, tetapi juga secara normatif sedang dituju oleh segala bentuk masyarakat, sebatas ilmu dan tekhnologi menjadi agen perubahannya.
            Para pemikir Barat, Heidegger, Horkheimer dan Andorno berusaha untuk mengcounter modernisasi tersebut, yakni modernisasi adalah sejarah panjang yang tidak dapat dipastikan dan tidak dapat sampai pada tingkat kepuasaan modernisasi itu sendiri, akan tetapi apabila modernisasi itu dijadikan sebagai sebuah kerangka objektif-nasional, maka sebuah disintegrasi total sebuah negara yang akan terjadi. Hal ini disebabkan karena ide “kehendak untuk menjadi modern” merupakan label dari “nafsu” sebagai “kehenda untuk berkuasa”. Dan pada gilirannya akan menjadi sebuah restored totalitarianism, yang pada awalnya modernisasi itu merupakan cita-cita abad Pencerahan di Barat dan  sebagai pelepasan masyarakat dari ancaman feodalisme dan dari kungkungan birokratisme dan teknokratisme.
            Ada dua pandangan dalam pemikiran Barat Kontemporer yang menjadikan dirinya berpijak pada salah satu pandangan tersebut. Pertama mereka yang mendukung modernitas sebagai tujuan universal segala bentuk masyarakat, sedangkan yang kedua berupaya meninggalkan modernitas. Dalam hal ini kedua belah pihak merupakan berposisi sama-sama menggunakan kesadaran kritis dalam mengemukakan pandangan-pandangannya mengenai modernitas. Kedua belah pihak merupakan radikal atas saintisme dan positivisme yang mendominasi situasi intelektual abad ke-20. Habermas adalah sebagai tokoh yang berpengaruh dalam pandangan pertama tentang modernitas, dan pandangan kedua mereka para ahli waris Nietzche, seperti Heidegger, Derrida, Foucault, Bataille, Baudrillard, dengan sebutan post-modernis. (F. Budi Hardiman: 2003, 152).
            Post-Modernisme adalah suatu pandangan yang berupa penolakan terhadap asumsi-asumsi rasionalitas yang telah tertanam kuat, epsitimologi Barat tradisional, atau representasi realitas yang dianggap paling “aman”. Post-modernisme mengarahkan pada mitos tentang subjek yang otonom transendental, dan konsep tentang praksis yang dimarjinalkan demi mendukung ketidakpastian retoris dan analisis tekstual terhadap berbagai praktek sosial. Post-modernisme ini menjadikan gagasan yang menyatakan bahwa makna dibawa oleh kejenakaan yang terus menerus dari sang penanda (signifer) sebagai titik tolaknya. (Norman K. Denzin, Yvonna S. Lincoln: 2009, 178).
            Pembahasan ini dimulai dengan sosok tokoh post-modernisme, Jacques Derrida (1930 M) seorang filosof perancis yahudi. Dia menganut aliran filsafat non rasial kontemporer. Dia banyak terpengaruh dengan Nietsche dan filosof serta pemikir lainnya (Sartre, Martin heidegger, Emanuell leibnizts, pemikir perancis yahudi).
            Mengenai beragamnya definisi postmodernisme, Kvale (2006) berpendapat bahwa istilah postmodernisme, yang berasal dari istilah posmodern, yaitu dapat sangat luas, kontroversial, dan ambigu. Hal ini terlihat dari pembagian pengertian yang Kvale (2006) lakukan untuk membedakan istilah postmodern tersebut yaitu : Postmodernitas yang berkaitan dengan era post-modern, Post-modernism yang berkaitan dengan ekspresi kultural era post-modern, dan pemikiran post-modern, atau wacana, yang berkaitan dengan refleksi filosofis dari era dan budaya post-modern.

Case Kebudayaan Post-Modernisme
            Adalah sebuah terma yang dipakai untuk menjabarkan masyarakat pada era informasi sekarang ini dimana secara sosial dipenuhi oleh bentuk-bentuk representasi/sajian yang terus meningkat, seperti perfilman, fotografi, elektronik, automotif dan sebagainya. Semua ini telah menimbulkan dampak hebat dalam men­ciptakan narasi kebudayaan yang membentuk identitas kita. Drama kehidupan sedemikian sering ditayangkan di televisi sehingga individu-individu dimana sebagian besar semakin mampu memprediksi berbagai hasil dan memandang hasil-hasil yang demikian yakini sebagai arah kehidupan sosial yang "alami” dan "normal." (Gergen, 1991).
            Seperti ungkapan kebanyakan analis post-modernisme, kita telah menjadi pengekor, sebagai konglomerasi imitatif satu sama lain. Dalam kondisi yang demikian itu kita mendekati kehidupan dengan sedikit
perasa
an, dengan perasaan bosan post-modern dan kecemasan yang tak bisa dimaafkan. Ikatan-ikatan emosional kita terurai seiring dengan serangan televisi, komputer, handphone, Internet, VCD, dan DVD sehingga kita terharuskan mengikuti dan memeiliki barang-barang tersebut. terhadap kita dengan berbagai sajian yang telah membentuk fasilitas kognitif dan afektif kita melalui cara-cara yang masih belum dipahami dengan memadai. Di bidang politik, kaum tradisionalis menyekat dan membentengi melalui budaya mereka dan menyingkirkan kaum khayalan seperti humanis sekuler, liberal ekstrem," dan kaum utopianis, yang tidak menyadari bahwa dampak yang ditimbulkan oleh hiperrealitas post-modern terhadap lembaga-lembaga mereka yang disakralkan. Keluarga inti, misalnya, telah menurun nilainya bukan karena serbuan "kaum feminis radikal" namun karena rumah telah didefenisikan kembali melalui kehadiran berbagai komunikasi elektronik yang dipandang wajar.
            Bentuk-bentuk informasi tertentu menempatkan anggota individual keluarga dalam hubungan yang konstan dengan subkultur tertentu pula. Meskipun secara fisik mereka berada di rumah, namun secara emosional mereka berada di luarnya melalui efek-efek penghubung dari berbagai bentuk komunikasi. Kita seharusnya terus berusaha memahami dunia sosial dan menilai kebudayaan-kebudayaan lain melalui genre televisi yang terikat dengan budaya dan konvensio­nal. Hiperrealitas telah memperkenalkan kita dengan berbagai bentuk literasi baru yang tidak hanya mengacu pada berbagai keterampilan tertentu tetapi juga membentuk berbagai keterampilan sosial dan relasi-relasi kekuasaan simbolik. Teknologi-teknologi baru ini tidak bisa dipandang terpisah dari konteks sosial dan kelembagaan yang di dalamnya mereka digunakan dan peran yang dimainkannya dalam keluarga, komunitas, dan tempat kerja. Teknologi tersebut juga perlu dilihat dari sudut bagaimana "kompetensi mempublikasi" telah terdistribusikan secara sosial dan berbagai praktik sosial yang berbeda bahkan diskursif, yang di dalamnya literasi media yang baru ini dihasilkan.
Transmisi elektronik menghasilkan formasi­-formasi baru, dimana ruang kebudayaan dan menyusun kembali pengalaman akan waktu. Kita sering kali terdorong untuk memperdagangkan keanggotaan komunitas demi kepemilikan semu (pseudobelonging) dunia media (mediascape).
Dengan memfokuskan pada era kemajuan informasi ini, dengan kemajuan yang telah diadopsi dan diyakini sebagai arah kehidupan sosial yang alami dan normal. Pada akhirnya akan berdampak pada bentuk kesadaran individualisme, kritik dan kebebasan terhadap kapitalisme melalui media dan sistem politik yang liberal dimana adanya bentuk-bentuk kesadaran terhadap bentuk penipuan yang dilakukan oleh kemajuan tekhnologi yang hanya mementingkan kelompok kepentingannya dan juga berpretensi untuk menjadikannya sebagai bentuk-bentuk penindasan gaya baru.
           
Konsistensi dalam menentukan mazhab Post-Positivisme
            Adapun posisi penulis setelah dipaparkan dari pernyataan di atas menggunakan pendekatan pada post-positivisme. Dengan ontologinya berdasarkan pada realisme kritis, epistimologi objektivis yang dimodifikasi dan metodologi eksperimental (keragaman argumentatif). Untuk itu seseorang yang mempelajari ilmu politik dan ingin mendeklarasikan dirinya sebagai seseorang mempunyai pendekatan dalam berpikir, maka dalam hal ini harus diperhatikan konsistensi seseorang dalam menentukan mazhab dan penggunaannya. Terlebih dahulu memahami bahwa tahapan-tahapan dalam kajian mazhab tersebut. Baik itu berupa epistimologi, yaitu berupa pengetahuan tentang apa yang dikaji, ontologi, tentang hakikat dasar dari realitas yang ada, aksiologi dan metodolgi, yakni bagaimana cara kita meraih pengetahuan tersebut.
            Selanjutnya dimulai dengan membaca dan menyadari pendekatan yang bagaimana yang seharusnya menjadi dasar kita dalam berpikir dengan membandingkan pendekatan-pendekatan yang ada dengan realitas pemikiran yang kita gunakan. Untuk selanjutnya memilih metodologi dalam memperoleh pengetahun tersebut sesuai dengan alur yang telah kita dapatkan, dan untuk selanjutnya mencoba memakai perbendaharaan kata-kata atau istilah yang menjadi trend dan pemikiran para tokoh penggagas pendekatan dalam berpikir tersebut.
            Dan yang terakhir adalah bagaimana kita telah menemukan suatu pendekatan dalam berpikir, contohnya berpikir yang positivistik atau post-positivistik untuk selanjutnya di terapkan dalam berpikir, menganalisa dan membuat kerangka dan penelitian yang dapat membantu proses perkembangan ilmu itu sendiri.


Daftar Bacaan

Denzin K. Norman, Lincoln S. Yvonna. 2009. Handbook of Qualitatif Research.     Pustaka Pelajar; Yogyakarta
Gergen, K.J. 1991. The Saturated Self: Dilemmas of Identity in Contemporary       Life. Basic Book. New York
Hardiman F. Budi. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Kanisius;            Yogyakarta
Kvale, Steiner. 2006. Psikologi dan Posmodernisme. Pustaka Pelajar;        Yogyakarta