Rabu, 11 Mei 2011

Fenomena Kutu Loncat


Fenomena “Kutu Loncat”

Oleh: Sutrisno Stabat[1]

Pembicaraan seputar ideologi politik kembali muncuat ke permukaan, ketika ada fenomena hengkangnya sebagian para aktor dari partai politik yang telah mendidik dan membesarkan namanya. Paling tidak, hal ini dapat kita telaah secara filosofis bahwa “tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan”. Prinsip inilah yang “mungkin” bisa menjelaskan hengkangnya para aktor politik yang berpindah dari satu parpol ke parpol yang lainnya. Memang tidak ada jawaban pasti dalam dunia politik, semua bisa terjadi dan bahkan yang tidak terpikirkan oleh kita sekalipun.
 Sebut saja Dede Yusuf yang menjadi wakil gubernur Jawa Barat yang menjadi kader PAN, Gamawan Fauzi yang di usung PDI-P saat menjadi gubernur Sumatera Barat, Muhammad Zainul Madji selaku gubernur Nusa Tenggara Barat yang di usung partai Bulan Bintang (PBB) dan gubernur Sulawesi Utara Sinyo Harry Sarundajang yang di usung juga oleh PDI-P . Mereka hengkang dari partai semula dan berpindah ke partai Demokrat. Kemudian, ada Ali Mochtar Ngabalin yang dahulunya berasal dari partai Bulan Bintang (PBB) kemudian loncat ke partai Golkar. Permadi, SH yang berasal dari partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) juga loncat ke partai Hanura dan Fuad Bawazier yang sebelumnya bergabung di PAN, kemudian loncat ke partai Hanura dan menjadi dedengkotnya di sana. Tentu masih banyak lagi bila diruntut lebih jauh lagi.
Untuk melihat fenomena kutu loncat ini, maka pertanyaan yang muncul kemudian bagaimana menjelaskan fenomena kutu loncat ini dan apa implikasinya terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia ke depan ?
Dalam perspektif teori Alderfer (1972), setiap orang mempunyai kebutuhan yang tersusun secara hirarki menjadi tiga bagian, yakni kebutuhan eksistensi, kebutuhan keterkaitan dan kebutuhan pertumbuhan. Untuk itu penting sekali dalam hal ini sebuah tindakan dan perilaku politik dalam fenomena kutu loncat ini akan menjelaskan realitas yang terjadi.
Pertama, kebutuhan eksistensi merupakan kebutuhan untuk selalu eksisten/ada. Dimana pasca reformasi dengan hadirnya pemilihan yang multipartai semakin mengindikasikan dan menguntungkan mereka untuk loncat atau malah membuat partai baru untuk menyatakan bahwa mereka masih tetap eksis dan memiliki tujuan yang sama yakni mendapatkan kekuasaan. Akan tetapi ada konskwensi yang ditimbulkan yakni semakin hilangnya hal-hal yang bersifat ideologis. Hadirnya mereka ke parpol yang lain atau malah membuat parpol yang baru merupakan hasil dari kurang dihargainya atau malah teralienasinya mereka dari parpol sebelumnya.
Hal inilah yang kemudian ‘mungkin’ dapat menjelaskan bagaimana kutu loncat itu hadir. Mereka hadir atas adanya proses konstruksi yang matang dan adanya perhitungan untung rugi yang telah mereka pikirkan sebelumnya. Hal inilah yang kemudian akan berimplikasi kepada faktor loyalitas dan ideologi politik tidak menjadi penting lagi. Dengan semakin menurunnya faktor ideologi maka, akan mengakibatkan menurunnya fanatisme dan gagasan dari konstituennya. Penjelasan kemudian tentang mengapa praktek konsumerisme dan pragmatisme para aktor politik semakin akut dan menjadi-jadi yakni; karena mereka mendasarkan parpol tidak lagi berdasarkan atas ideologi yang mengakar pada aktor politik tersebut, akan tetapi mereka hanya mendasarkan pada upaya bagaimana mencapai kemenangan dan merebut kekuasaan yang telah ada tanpa ideologi yang utama.
Kedua, kebutuhan keterkaitan merupakan kebutuhan untuk senantiasa berkaitan dengan interaksi sosial terhadap kekuatan-kekuatan politik yang ada. Upaya partai politik untuk meminang aktor-aktor potensial yang menjadikan mereka kadernya tanpa harus melalui proses pengkaderan merupakan sesuatu yang wajar pasca reformasi. Tujuanya adalah bagaimana memenangkan persaingan pada saat pemilihan dengan meminang aktor-aktor partai politik yang lain dengan konkwensi adanya pemberian jabatan/kekuasaan yang akan di dapatkan tanpa harus melalui proses pengkaderan. Hal inilah yang kemudian berimplikasi kepada hadirnya manuver politik para aktor untuk meloncat dari partai satu ke partai yang lain karena adanya tawaran politis yang menggiurkan aktor tersebut dalam memudahkan dirinya meraih kekuasaan.
Ketiga, kebutuhan pertumbuhan merupakan hal yang bersumber dari daya kreatif dan produktif para aktor politik tersebut. Mereka dituntut untuk produktif dan kreatif dalam mengelola partai sebagai representasi dari konstituennya. Akan tetapi, fenomena yang muncul kemudian partai politik tumbuh dan berkembang dalam masa-masa menjelang pemilu berlangsung. Partai politik tidak lagi mengadakan kadarisasi, edukasi dan pemantapan ideologi partai yang sebenarnya merupakan ruh dari partai itu sendiri. Tersendatnya saluran fungsi politik menjadikan para aktor dan kader politik mencari jalan lain dengan loncat ke partai yang lain sebagai bentuk dari legitimasi para aktor untuk melakukan daya kreatif dan lebih produktif di partai yang lain.
Akhirnya, fenomena kutu loncat merupakan bentuk dari kesadaran dari para aktor politik dan juga merupakan bentuk pengabaian partai politik sebagai salah satu pilar dari demokrasi. Partai politik tidak lagi mengedepankan ideologi partai sebagai ruh dari perjuangan partai. Akan tetapi lebih mengedepankan semangat bagaimana memenangkan kompetisi pada saat pemilihan berlangsung, dengan cara meminang para aktor politik yang potensial dari partai lain yang dijadikan sebagai icon baru partai. Hal ini bertujuan untuk mendulang suara dan mencapai kekuasaan yang ada tanpa memikirkan ideologi partai dan para kader partai yang sudah antri sebelumnya.



[1] Mahasiswa Pascasarjana Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Dan aktif dalam lembaga kajian Center for Learning Education and Democracy (Center for Lead)  Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar