Minggu, 13 Februari 2011

Proses Kebijakan Kawasan Dilarangan Merokok


Proses Kebijakan Kawasan Dilarangan Merokok

A.    Pendahuluan
Merokok merupakan suatu pemandangan yang sangat tidak asing bagi bangsa ini. Kebiasaan merokok dianggap dapat memberikan kenikmatan bagi si perokok, namun dilain pihak merokok juga dapat menimbulkan dampak buruk bagi si perokok sendiri maupun orang-orang disekitarnya. Berbagai kandungan zat yang terdapat di dalam rokok memberikan dampak negatif bagi tubuh penghisapnya. Sebuah laporan yang dirilis World Health Organization (WHO) pada awal tahun 2008 memperkirakan bahwa 1 miliar orang di seluruh dunia akan meninggal akibat rokok apabila pemerintah di berbagai negara tidak serius dalam mengatasi kondisi epidemik terhadap penggunaan tembakau. Dalam kesempatan itu WHO juga merekomendasikan agar setiap negara melakukan enam tindakan guna menekan angka perokok dan tindakan merokok di masing-masing wilayahnya. Pertama, memperbaiki kualitas data penggunaan tembakau di wilayahnya. Kedua, meniru pelarangan keberadaan tembakau seperti di Irlandia. Dimana mereka melarang seluruh keberadaan tembakau ditempat kerja. Ketiga, mengintensifkan upaya untuk membujuk dan membimbing para perokok untuk meninggalkan kebiasaan merokok. Sedangkan tiga tindakan lainnya mengenai upaya agar para perokok tidak merokok di tempat umum. Namun rekomendasi yang paling ampuh yang ditawarkan oleh WHO ialah agar setiap negara memberlakukan pajak yang sangat tinggi untuk tembakau hingga sepuluh kali lipat.
Setidaknya pemerintah daerah DKI Jakarta sebelum rekomendasi dari badan WHO itu dikeluarkan, mereka sudah bersiaga melalui  Perda No.2 Tahun 2005 dan telah mengeluarkan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 Tentang Kawasan Larangan merokok dan dilanjutkan dengan Peraturan Gubernur No. 88/2010 tentang Larangan Merokok. Pemerintah daerah segera menginstruksikan agar setiap tempat umum ataupun gedung pemerintahan maupun swasta menyediakan ruangan khusus bagi perokok (smooking room). Pelarangan ini juga membuat suatu sanksi yang tegas apabila mereka ketahuan merokok di tempat umum dikenai denda sebesar 50 juta rupiah dan kurungan minimal 6 bulan serta sanksi kepada gedung-gedung yang tidak menyediakan smooking room. Beberapa kawasan dilarang merokok ini terbagi menjadi 5 “Kawasan Dilarang Merokok” (KDM Total) yang meliputi tempat pelayanan kesehatan, tempat ibadah, tempat proses belajar mengajar, area kegiatan anak-anak dan angkutan umum, dan 2 “Kawasan Dilarang Merokok” secara terbatas (KDM Terbatas) yaitu tempat umum dan tempat kerja. Adapun tujuan dari Perda tersebut, yakni tidak melarang orang untuk merokok di Jakarta, melainkan mengatur tempat-tempat di mana seseorang boleh merokok atau tidak. Dan sekali lagi, asap rokok dapat berdampak kepada kesehatan. Oleh karena itu, pemerintah mengatur tempat-tempat tertentu agar paparan asap rokok yang ditimbulkan dari kegiatan merokok tidak mengganggu masyarakat yang tidak merokok, tetapi juga tidak menghalangi hak perokok dewasa untuk merokok.
Tulisan ini akan membahas tentang kebijakan yang berkaitan dengan kawasan dilarang merokok ditempat umum di Jakarta. Kebijakan ini lahir karena pemerintah menyadari bahwa asap rokok dapat menyebabkan gangguan kesehatan baik bagi perokok (aktif) maupun masyarakat yang tidak merokok (pasif). Namun di sisi lain, kegiatan merokok merupakan hak bagi perokok dewasa. Oleh karena itu, pemerintah memandang perlu adanya suatu pembatasan terhadap area tertentu yang dinyatakan sebagai “Kawasan Dilarang Merokok” guna melindungi masyarakatnya yang tidak merokok. Kemudian dalam hal ini pemerintah daerah Jakarta mengeluarkan Perda larangan merokok ditempat umum yakni Perda No.2 Tahun 2005 dan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 Tentang Kawasan Larangan merokok dan dilanjutkan dengan Peraturan Gubernur No. 88/2010 tentang Larangan Merokok.
Adapun fokus dari tulisan ini adalah bukan melihat kawasan-kawasan larangan merokok itu akan tetapi lebih melihat kepada proses pembuatan kebijakan itu sampai kepada implementasinya di lapangan yang kemudian tulisan ini akan mengungkap dimensi-dimensi yang tersembunyi dibalik penggunaan otoritas dari sebuah kebijakan larang merokok di tempat umum dan juga bagaimana publik dalam merespon kebijakan tersebut.

B.     Lingkungan dan Larang Merokok
Salah seorang ahli psikologi terkenal, B.F. Skinner (1904-1990) menekankan pengaruh lingkungan dalam membentuk pribadi seseorang. Bahwa kepribadian merupakan pola perilaku konsisten yang menggambarkan sejarah reinforcement (penguatan, ganjaran) yang kita alami. Selama ini, kita memiliki pola sikap dan perilaku tertentu dikarenakan kita mendapat reinforcement dari masyarakat untuk sikap dan perilaku tersebut. (George Boeree. 2008: 226-229)
Salah satu bentuk reinforcement itu adalah dilihat dari budaya merokok. Hampir semua orang tahu  merokok itu berbahaya bagi kesehatan. Informasi tentang hal tersebut sangat gencar tersebar di masyarakat, baik oleh pemerintah, organisasi kesehatan, maupun dilakukan secara swadaya oleh masyarakat. Bahkan di setiap bungkus rokok pun terdapat tulisan peringatan akan bahaya merokok. Belakangan, aktivitas merokok mencuat menjadi pembicaraan masyarakat. Merokok kini diketahui tidak hanya berbahaya bagi kesehatan si perokok (aktif) tetapi juga bagi orang yang berada dekat dengan si perokok (pasif) dan juga dapat menganggu kenyamanan di tempat umum serta menimbulkan pencemaran udara.
Dalam laporan WHO tahun 1983 sampai 2008 menyebutkan, jumlah perokok di negara berkembang meningkat 2,1% per tahun, sedangkan di negara maju justru terjadi penurunan sekitar 1,1% per tahun. Di dalam negeri, sebuah penelitian di Jakarta menunjukkan bahwa 64,8% pria dan 9,8% wanita dengan usia di atas 13 tahun adalah perokok. Bahkan pada kelompok remaja, 49% pelajar pria dan 8,8% pelajar wanita di Jakarta sudah merokok. Dan pada tahun 2008 WHO memperkirakan bahwa 1 miliar orang di seluruh dunia akan meninggal akibat rokok, apabila pemerintah di berbagai negara tidak serius dalam mengatasi kondisi epidemik terhadap penggunaan tembakau.
Kemudian alasan para perokok tidak mau berhenti merokok, bahwa mereka akan susah berkonsentrasi, gelisah, bahkan bisa jadi gemuk. Bila merokok, mereka merasa lebih dewasa dan dapat memperoleh ide atau inspirasi secara lebih baik. Faktor psikologis dan fisiologis itulah yang banyak mempengaruhi kebiasan merokok di masyarakat. Kenyataannya dibalik semua itu merokok justru menimbulkan kerusakan pada kesehatan mereka. Upaya untuk menghentikan kebiasaan merokok menjadi tugas dan tanggung jawab dari segenap lapisan masyarakat. Usaha penerangan dan penyuluhan, khususnya di kalangan generasi muda dapat pula dikaitkan dengan usaha penanggulangan bahaya narkotika. Yang tidak kalah penting, tokoh-tokoh panutan masyarakat, termasuk para pejabat, pemimpin agama, guru, petugas kesehatan, artis, dan olahragawan, sudah sepatutnya menjadi teladan dengan tidak merokok. (http://mandorkawat2009.wordpress.com/2009/09/22/merokok-salah-satu-unsur-pencemar-lingkungan-membahayakan-kesehatan-manusia-2/).
Seiring dengan meningkatnya keresahan akan bahaya merokok ini, kemudian pada tahun 2005, Sutiyoso sebagai Gubernur Jakarta dengan mengacu kepada Perda No.2 Tahun 2005 tentang Tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Maka dikeluarkan PerGub No. 75 Tahun 2005 Tentang Kawasan Larangan merokok dan sekarang Fauzi Bowo pada tahun 2010 mengeluarkan juga PerGub No. 88/2010 tentang Larangan Merokok dimana implementasi kebijakan itu berada pada Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Satpol Pamong Praja dan dibantu pihak Kepolisian. Hal inilah yang diperlukan dalam rencana bagaimana menampilkan pemerintah dan warga untuk terlibat langsung dalam pelaksanaan kebijakan yang telah dikeluarkan tersebut. Adapun pada fase-fase awal pelaksanaan kebijakan larangan merokok sangat dipatuhi oleh para perokok, hal ini dapat dibuktikan ketika sosialisasi dan banyaknya razia yang dilakukan menyebabkan para perokok merasa perlu untuk menyadari akan pentingnya mematuhi kebijakan tersebut. Akan tetapi ada masalah yang timbul di dalam sosialisasi larangan merokok di tempat umum selanjutnya. Dimana dalam kegiatan tersebut semakin tidak menunjukkan punishment yang cukup tegas terhadap perokok, sejauh yang dilakukan adalah tindakan untuk memberikan penyadaran dalam bentuk teguran. Kekuatan hukum yang kelihatan angin-anginan ini tercermin dari pasal-pasal dari peraturan tersebut yang mengurus sanksi untuk pelanggar. Untuk pelanggar individu jika ditemukan merokok dikawasan bebas rokok, perokok hanya sebatas diberi surat peringatan dan untuk gedung-gedung akan dikenai sanksi dipublikasikan di media masaa.
Mengadopsi kepada teori sistem yang mengemukakan bahwa pembuatan kebijakan tidak dapat dipisahkan dari lingkungan dimana kebijakan itu dibuat. Tuntutan-tuntutan itu timbul dalam lingkungan dan ditransmisikan ke dalam sistem politik. Pada saat yang sama, lingkungan menempatkan peranan penting yang dipakai oleh para pembuat kebijakan. Termasuk keadaan geografis, jumlah penduduk, budaya sosial dan politik serta ekonomi yang ada dalam lingkungan tersebut (Budi Winarno, 1989: 33). Jadi lingkungan ini sangat berperan dalam proses pembuatan kebijakan, karena biasanya kebijakan itu lahir dari keadaan lingkungan yang semakin membahayakan bagi masyarakat sekitarnya. Untuk itu kebijakan ini lahir, karena dipandang bahwa Jakarta sebagai kota pusat ibu kota yang memiliki kepadatan penduduk yang besar dan dalam hal ini diperlukan regulasi tentang pencemaran udara melalui peraturan daerah dan gubernur untuk menanggulangi masalah pencemaran udara dari rokok.
C.    Proses Pembuatan kebijakan Kawasan Larang Merokok
            Proses kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan di dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan. Analisis kebijakan dapat menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan pada satu, beberapa, atau seluruh tahap dari proses pembuatan kebijakan, tergantung pada tipe masalah yang dihadapinya. (William N. Dunn, 2003: 22-23)
            Adapun proses pembuatan kebijakan disini adalah kebijakan yang dibuat Pemprop DKI Jakarta, Perda No.2 tahun 2005 pasal 13 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dijadikan dasar pembentukan Perda No.75 tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok. Dalam Perda no.75 tahun 2005 tersebut diatur tempat-tempat dan kawasan di mana orang-orang tidak boleh merokok sembarangan karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Dibentuknya Perda tersebut karena muncul banyak keluhan dari masyarakat tentang gangguan asap rokok di tempat umum, kurangnya kesadarn para perokok yang masih saja seenaknya merokok di tempat-tempat umum tanpa memperhatikan aspek kenyamanan dan dampak kesehatan bagi orang lain, serta meningkatnya tuntutan kesehatan dan pengetahuan tentang dampak negatif asap rokok. Dari identifikasi Pemprov DKI Jakarta, hal-hal tersebut ditangkap sebagai sebuah “masalah publik” yang memerlukan regulasi, sehingga Pemprov DKI Jakarta menampung input tersebut dan mengaplikasikannya menjadi sebuah kebijakan.
            Setelah masalah itu itu timbul, maka selanjutnya adalah tahap formulasi kebijakan. Dimana para perumus kebijakan akan berhadapan dengan alternatif-alternatif kebijakan  sebagai pemecahan  masalah yang ada. Tahap ini ada setelah para perumus kebijakan sepakat untuk memasukan masalah tersebut dalam agenda kebijakan. Kronologisnya masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan akan dibahas oleh para pembuatan kebijakan. Lalu masalah-masalah yang ada didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan  masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan, jika dalam perumusan kebijakan masing-masing alternatif  bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Namun Pada tahap formulasi masing-masing aktor akan “bermain” untuk mengusulkan pemecahan terbaik. Misalnya pemerintah akan membuat kebijakan  larangan  merokok ditempat-tempat umum. Maka pilihan kebijakannya meliputi : Pertama, larangan merokok ditempat umum ditetapkan karena memberikan dampak positif dilihat dari perspektif kesehatan, lingkungan dan lain-lain. Kedua, larangan merokok ditempat umum tidak ditetapkan karena memberikan dampak negatif pada kondisi ekonomi negara Indonesia. Alternatif  kebijakan ini didasarkan atas beberapa usulan dari Pemprop DKI Jakarta, Dinas kesehatan DKI Jakarta, LSM yang bergerak pada bidang kesehatan masyarakat, pengusaha, dinas pekerjaan umum dan lain-lain.
1.      Usulan dinas kesehatan agar larangan merokok ditempat umum di tetapkan yakni untuk mengurangi angka kematian, dengan melihat dampak rokok yang sangat berbahaya bagi kesehatan yang dapat menyebabkan kanker serangan jantung serta ganguan janin namun yang menjadi alasan terbesar rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan dapat mengakibatkan bahaya kesehatan bagi individu dan masyarakat baik selaku perokok aktif maupun perokok pasif. Oleh sebab itu diperlukan perlindungan terhadap bahaya rokok bagi kesehatan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan. Maka dengan adanya larangan merokok ditempat umum akan memberikan efek yang sangat positif di bidang kesehatan. 
2.      Dari pengusaha dan dinas pekerjaan umum berpendapat bahwa larangan merokok ditempat umum akan menimbulkan penurunan jumlah perokok padahal keberadaan perokok bagi perusahaan merupakan hal yang sangat menguntungkan. Dengan semakin banyaknya perokok, secara otomatis semakin banyak pula laba yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Dengan meningkatnya laba perusahaan rokok, maka secara otomatis pendapatan negara dari sektor pajak juga meningkat (pajak untuk rokok sebesar 36%). Dengan meningkatnya pendapatan negara dari sektor pajak, maka kesejahteraan rakyat juga terangkat. Karena dengan penghasilan dari pajak itulah pemerintah membiayai pembangunan negaranya. Selain itu, dengan adanya perokok juga berarti pekerja pabrik rokok tetap bisa bekerja. Bisa dibayangkan apabila satupun perokok sudah tidak diberi kebebasan lagi. Maka dipastikan tidak ada pabrik rokok, yang berarti tidak ada pekerja di pabrik rokok. Berarti pula meningkatnya jumlah pengangguran kerja. Maka mereka dari pengusaha ini tidak setuju dengan adanya larangan tersebut.
3.      Dari Pemprop yang sangat mendukung dengan adanya larangan merokok ditempat umum  karena larangan tersebut merupakan upaya Pengendalian Pencemaran Udara yang akan  menciptakan udara yang sehat dan bersih bagi lingkungan sekitar.
4.      Dari LSM yang berpendapat keberadaan perokok merupakan ancaman bagi generasi kita. Bukanlah rahasia lagi apabila banyak di antara remaja (siswa) yang merokok di tempat umum dengan masih mengenakan seragam sekolah. Hal ini tentu berpengaruh terhadap perilaku mereka dalam pergaulan. Maka dengan larangan merokok ditempat umum dan disertai sanksi yang tegas maka upaya untuk menciptakan generasi muda yang bebas dari asap rokok dan memilki perilaku yang baik akan terwujud.
            Dalam tahap formulasi terjadi pertarungan kepentingan antar berbagai aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan. Pertarungan terjadi antara LSM, Pemprop, dan dinas kesehatan yang melihat sisi positif apabila diterapkan larangan tersebut. Dengan perspektif ekonominya yang menganggap merugikan pemerintah dan pengusaha dalam hal pendapatan. Kondisi seperti ini, yang menunjukkan kepada pilihan-pilihan kebijakan akan didasarkan pada kompromi dan negosiasi yang terjadi antar aktor yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan tersebut. Dengan melihat manfaat yang akan didapat apabila larangan tersebut ditetapkan maka para aktor pengambil kebijakan menyetujui ditetapkannya larangan tersebut. Maka proses selanjutnya adalah dengan mengadakan legitimasi.
            Di dalam proses legitimasi kebijakan merupakan proses penetapan dari salah satu alternatif kebijakan yang telah terpilih oleh para perumus kebijakan diseleksi dan diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan. Legitimasi menghasilkan sumber informasi yang kuat dan relevan dengan kebijakan tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternatif yang akibatnya di masa mendatang telah diestimasikan melalui peramalan. Rekomendasi juga merupakan bagian dari proses legitimasi yang merupakan suatu proses yang nantinya akan mengarah pada legitimasi kemudian akan membantu mengestimasikan tingkat resiko dan ketidakpastian, mengenali eksternalitas dan akibat yang ditimbulkan, menentukan kinerja dalam pembuatan pilihan, dan menentukan pertanggungjawaban administratif bagi implementasi kebijakan.
            Dalam tahap legitimasi juga berlangsung proses penyeleksian proposal atas usulan kebijakan tersebut, membangun dukungan politik serta mengabsahkannya menjadi undang-undang. Dalam birokrasi yang teratur, pengeluaran publik dan kegiatan badan legislatif dapat diketahui berdasarkan standar kebijakan tersebut.
            Ditubuh birokrasi itu sendiri mempunyai peran dan posisi yang vital dalam proses pengelolaan kebijakan termasuk pembuatan kebijakan publik. Birokrasi baik itu secara langsung maupun tidak langsung sangat menentukan tingkat efisiensi dan kualitas pelayanan publik yang akan diberikan kepada masyarakat serta efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Kebijakan publik yang telah ditetapkan oleh pemerintah akan dapat berjalan secara efektif apabila terdapat birokrasi yang sehat serta memiliki integritas dan kompetensi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai abdi dan representatif dari masyarakat.
            Peran penting yang dimiliki birokrasi dalam proses pembuatan kebijakan publik menimbulkan pengaruh lain. Birokrasi dan sistem politik menjadi berkaitan erat sehingga mendorong birokrasi untuk turut campur dengan kehidupan politik sehingga netralitas yang seharusnya dimiliki oleh birokrasi semakin berkurang. Birokrasi dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk mencapai ataupun mempertahankan kekuasaan pihak terkait.
            Kebijakan publik dirancang, dilaksanakan dan dievaluasi oleh birokrasi publik. Lingkungan sekitar baik itu lingkungan internal maupun lingkungan eksternal mempunyai pengaruh yang besar terhadap kebijakan publik. Dari aspek eksternal meliputi kesiapan dalam menerima setiap keputusan dalam pembuatan kebijakan publik dari stakeholder yang bervariasi di masyarakat.
            Berkaitan dengan diberlakukannya Perda No.75 Tahun 2005 tentang Kawasan dilarang Merokok sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari pemberlakuan Perda No.2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran udara, diketahui bahwa alternatif tersebut dilegitimasi mengingat bahwa kebijakan ini bertujuan sebagai faktor pendukung dari Perda sebelumnya tentang pengendalian pencemaran udara di propinsi DKI Jakarta dengan mempertimbangkan segala sebab dan akibat dari kebijakan tersebut. Namun, setelah segala pertimbangan menuju kepada tahap legitimasi, hal ini menimbulkan pro kontra antara pihak yang memiliki perbedaan kepentingan.
            Di satu sisi amanat akan Perda tentang pengendalian pencemaran udara akan dibantu dengan disahkannya Perda tentang kawasan dilarang merokok. Namun, di sisi lain hal ini secara perlahan akan mengurangi aspek pendapatan negara karena sebagian sektor pendapatan berasal dari produksi akan rokok itu sendiri. Akan tetapi dilihat dari berbagai alternatif beserta konsekuensi dan manfaat yang akan ditimbulkan dari diberlakukannya perda tentang kawasan larangan merokok ini maka perda ini tetap dipertahankan dengan prosedur yang telah tertuang dan tidak lepas dari peran masyarakat atau lembaga dan organisasi yang berkembang di masyarakat.
            Kebijakan publik merupakan respons dari sebuah sistem politik terhadap tuntutan maupun dukungan yang mengalir dari lingkungannya. Pemerintah sebagai pelaku utama implementasi kebijakan publik memiliki dua fungsi yang berbeda, yakni fungsi politik dan fungsi administratif. Fungsi politik merupakan fungsi pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Sedangkan fungi administratif adalah fungsi pemerintah sebagai pelaksana kebijakan. Oleh karena itu, pemerintah memiliki kekuatan diskretif (discretionary power) dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan tersebut dan para aktor lain juga harus memainkan peran pengawasan dalam pelaksanaan kebijakan itu.
            Sebuah kebijakan publik akan disusun berdasarkan sebuah proses sebagai berikut: identifikasi, formulasi, legitimasi, implementasi dan evaluasi. Khusus pada bagian ini, akan dibahas mengenai implementasi kebijakan publik. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan alat administrasi hukum di mana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan. Sedangkan pada sisi lain implementasi merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai proses, output maupun sebagai hasil.
            Tahap implementasi kebijakan ini tidak akan dimulai sebelum tujuan-tujuan dan saran-saran ditetapkan atau diidentifikasi oleh keputusan-keputusan kebijakan. Tahap ini terjadi hanya setelah undang-undang ditetapkan dan dana disediakan untuk membiayai implementasi kebijakan tersebut.
            Pemerintah provinsi DKI Jakarta mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005. Perda ini berisi tentang pengendalian pencemaran udara yang menjadi dasar larangan merokok di area publik atau tempat umum. Penerapan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 yang mengatur tentang kawasan dilarang merokok belum sepenuhnya terlaksana dengan baik. Berbagai kendala terutama terkait implementasi pemberian sanksi terhadap pelaku, masih menjadi kesulitan utama di lapangan.
            Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo juga menyatakan bahwa perda larangan merokok di tempat umum masih kurang efektif. Menurutnya, untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan perda tersebut pemprov akan lebih banyak melibatkan komponen masyarakat. Dalam pelaksanaan peraturan daerah ini membutuhkan kerjasama masyarakat dalam mengawasi pelaksanaan berbagai perda mengingat jumlah aparat yang terbatas.
            Kenyataan yang terjadi di lapangan adalah banyak warga masyarakat yang merupakan perokok aktif banyak yang merokok di tempat-tempat yang termasuk dalam kategori kawasan dilarang merokok. Walaupun sudah ada tempat khusus merokok bagi para perokok, terkadang masih banyak orang yang merokok seenaknya sendiri tanpa menghiraukan kenyamanan dan kesehatan orang lain.
            Merokok merupakan hal yang sudah umum di kalangan masyarakat kita. Begitu umum dan lumrahnya, anak yang secara emosional belum dewasa pun kerap kali kedapatan merokok. Suatu kebanggaan, begitu kata mereka. Bahkan seringkali kedapatan remaja yang masih mengenakan seragam sekolah. Sungguh, sebuah fenomena yang menarik untuk dicermati.
            Perda Nomor 2 tahun 2005 memiliki sanksi yang cukup berat, yakni berupa kurungan badan selama enam bulan penjara atau denda uang sebesar Rp 50.000.000,-/ lima puluh juta rupiah. Karena tidak adanya ketegasan dari penerapan larangan merokok pada akhirnya Pemprov DKI Jakarta akan mengajukan perda khusus yang berbentuk rokok dengan sanksi tindak pidana ringan (tipiring). Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta Ibu Peni Susanti mengatakan penegakkan hukum akan sangat sulit sebab memerlukan dana, sumber daya manusia, kapasitas, dan tentu saja kinerja institusi yang tidak terbatas.
            Oleh karena itu, ternyata para elemen masyarakat melalui BPLHD bekerja sama dengan SIF (Swisscontact Indonesia Foundation) telah mengkaji aspek legislasi pada peraturan daerah tersebut. khususnya pasal 13 yang berbunyi sanksi minimal enam bulan penjara dan denda hingga Rp 50.000.000,-. Selain revisi sanksi, implementasi Kawasan Dilarang Merokok (KDM) kemungkinan juga akan dirubah. Kalau pada awalnya KDM itu artinya adalah salah satu ruangan khusus untuk merokok maka untuk selanjutnya berarti tidak akan ada ruangan khusus untuk merokok juga untuk perokoknya. Lima kawasan yaitu sekolah, tempat ibadah,sarana kesehatan,tempat bermain anak dan angkutan umum KDM akan total, tak akan boleh ada asap rokok yang mengepul.
            Kepala Bidang (Kabid) Penegakan Hukum BPLHD DKI Jakarta Ridwan Panjaitan juga menyatakan bahwa kendala dalam penegakan selama ini adalah pada jam penegakan di lapangan pihaknya harus berkoordinasi dengan aparat kehakiman dan harus melakukan pemberkasan sebelum dijatuhkan sanksi. Nantinya sanksi revisi di perda baru disederhanakan dan menjadi sanksi tipiring. Bentuknya seperti pengendara bermotor yang melanggar akan ditilang dan wajib mengikuti persidangan. Selain sanksi pidana juga ada sanksi administrasi seperti pencabutan izin operasi akan diakomodasi di revisi peraturan daerah. Revisi perda biasanya dilaksanakan lima tahun sekali yang untuk selanjutnya akan dilakukan pada tahun 2010.
            BPLHD dalam hal ini telah banyak membantu dalam proses revisi perda tersebut, yang bertujuan untuk melindungi pekerja dan pengunjung dari bahaya asap rokok.  BPLHD pun juga telah melakukan evaluasi kinerja terhadap penerapan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005. Dari 120 kawasan perkantoran dan rumah sakit yang dievaluasi antara lain terungkap sebanyak 36 persen diantaranya berkategori buruk dalam menerapkan perda larangan merokok.
            Sebagai focal point bahwa ternyata Perda ini telah menghilangkan kenikmatan para perokok sebagai akibat dari masyarakat yang terganggu dengan asap rokok tersebut dan penulis merasa perlu menghadirkan Perda ini tidak hanya saja di DKI Jakarta. Untuk itu Perda tentang larangan merokok semakin dirasakan membawa dampak yang positif dan harus diberlakukan di sejumlah kota di Indonesia, tidak hanya di DKI Jakarta. Perda larangan merokok di Indonesia harus diberlakukan untuk tempat-tempat umum seperti perkantoran, pusat-pusat perbelanjaan, sekolah, tempat ibadah, sarana kesehatan, tempat bermain anak dan angkutan umum, dan sebagainya. Maka untuk itu, perda ini masih harus disosialisasikan kepada publik agar tidak terjadi kesalahan persepsi dan biasanya kebijakan itu dirasakan masyarakat tidak mengetahui tentang Perda ini, karena kurangnya sosialisasi baik pemerintah daerah sendiri maupun para pihak swasta yang harus mendukung kebijakan ini.

D.    Implementasi Kebijakan Kawasan Dilarang Merokok
Implementasi dari Perda No.2/2005 tentang larangan merokok ditempat umum ini mulai diberlakukan pada 6 April 2006, yakni untuk semua wilayah DKI Jakarta. Dan yang bertindak sebagai implementator dari kebijakan ini adalah dinas kesehatan DKI Jakarta, petugas satpol PP dibantu petugas dari pihak kepolisian. Adapun bentuk sanksi pelanggaran berupa tilang bagi orang-orang yang melanggarnya, dan selanjutnya mengikuti proses sidang bagi para pelanggar dengan sanksi yang telah ditetapkan maksimal 6 bulan kurungan atau denda Rp 50 juta.
Tidak sedikit pro dan kontra atas kebijakan ini, yakni terutama dari para aktivis LSM dan para pengusaha dan perokok itu sendiri. Paling tidak Perda ini sudah lebih dari empat tahun dijalankan, ada beberapa hal yang perlu untuk dievaluasi, terutama dalam pelaksanaanya. Pertama, berhubungan dengan tempat-tempat yang telah ditetapkan sebagai KDM. Sangat mudah  ditemukan orang-orang yang melanggar peraturan ini, seperti misalnya di angkutan umum atau tempat ibadah. Di sana kita bisa melihat orang-orang dengan bebas bisa merokok. Di sini jelas terlihat bahwa pengawasan di tempat-tempat seperti ini masih sangat minim. Bahkan di tempat-tempat yang kuat dengan penjagaannya pun kita bisa menemukan beberapa orang merokok di area bertuliskan “Kawasan Dilarang Merokok”. Kedua, mengenai pengawasan terhadap KDM. Penulis merasa pengawasan ini masih sangat minim. Walaupun masyarakat juga dilibatkan dalam pengawasan ini, tetapi penulis yakin kebanyakan orang akan memilih untuk menghindari orang-orang yang merokok daripada harus bercapek-capek dengan melaporkan perokok yang melanggar tersebut. Bahkan, banyak di antara masyarakat yang lebih memilih diam daripada sekedar menegur orang-orang yang merokok. Tentu dengan melihat sikap masyarakat ini, pemerintah tidak bisa mengharapkan partisipasi besar dari masyarakat untuk pengontrolan terkait KDM, akan tetapi perlu  pengawasan yang lebih optimal dari aparat terkait. Ketiga, terkait peran Dinas Kesehatan Pemprop DKI Jakarta sebagai pembina dan pengawas kawasan dilarang merokok. Penulis merasa pelaksanaannya masih sangat minim. Hal ini terutama bisa kita lihat dalam perberdayaan masyarakat, kita bisa dengan jelas melihat dan merasakan bahwa  masyarakat masih sangat jauh dari kata peduli terhadap bahaya merokok. Keempat, masih banyak pelanggaran yang seharusnya dicontohkan oleh para petugas Pemprop DKI Jakarta, akan tetapi mereka malah mencontohkan hal yang tidak seharusnya. (http://indotc1.blogspot.com/2007/06/lumpuh-larangan-merokok-di-tempat-umum.html).
Terakhir, ketegasan pemerintah maupun aparat terkait masih belum bisa membuat masyarakat jera. Masih banyak tempat-tempat yang sebenarnya telah ditetapkan sebagai kawasan bebas merokok, tetapi di sana kita juga bisa menemukan banyak pelanggara yang terjadi.
Merilee S. Grindle dan John W. Thomas menyebutkan ada dua pendekatan utama dalam memahami kebijakan publik yaitu, pertama, pendekatan yang berpusat pada masyarakat, dan kedua, pendekatan yang berpusat pada negara. Pendekatan pertama dapat dapat dibagi lagi ke dalam pendekatan analisis kelas, pendekatan pluralis, dan pendekatan public choice. Sedangkan pendekatan kedua dibagi atas model aktor rasional, pendekatan bureaucratic politics dan pendekatan kepentingan negara (Gabriel Lele, 2004: 243-244).
            Inti dari pendekatan-pendekatan tersebut adalah untuk menjawab pertanyaan siapa yang mengartikulasikan kepentingan publik dan kepentingan publik yang mana yang diartikulasikan. Sehingga dengan melihat kebijakan yang dikeluarkan oleh DKI Jakarta dengan membuat Perda dan Pergub tentang Larangan Merokok dapat penulis jelaskan dibawah ini.
            Pertama, pendekatan berdasarkan analisis kelas, yakni pendekatan yang melihat bahwa ada kelas dominan yang menjadi kanal dari sebuah kebijakan itu dibuat, dimana negara menjadi alat atas kelas tersebut yang sekaligus dipakai untuk mengkooptasi kelas tertentu melalui mekanisme korporatisme. Paling tidak ini dapat dilihat bahwa dalam proses pembuatan kebijakan larangan merokok diindikasikan bahwa diskriminasi itu berlangsung dari kelas dominan yang berada di pemerintahan daerah diturunkan kepada dinas kesehatan Jakarta untuk menanggulangi perihal para perokok, dengan tidak memperbolehkan merokok disembarang tempat dan juga melihat bahwa kebijakan ini mengarah kepada permainan modal asing dimana dalam peraturan-peraturannya tersebut tidak jelas arah keberpihakannya, yakni terhadap industri lokal dan hak warga negara.
            Pendekatan pluralis, pada pendekatan ini melihat bahwa kebijakan publik sebagai hasil dari kompromi yang dipicu oleh konflik, pertarungan dan pembentukan koalisi strategis diantara sejumlah besar kelompok sosial yang diorganisasi untuk memperjuangkan atau melindungi kepentingan para anggotanya. Dalam artian bahwa kebijakan larangan merokok adalah hasil dari kompromi atas pemprop DKI, LSM, pengusaha dan dinas kesehatan, juga ditambah dengan fatwa haram merokok yang dilakukan para tokoh agama dan juga hasil dari kecenderungan tingkat polusi udara Jakarta yang semakin meningkat dengan ditambah para perokok yang semakin memperkuat bahwa kebijakan ini harus dibuat.
            Dan pendekatan public choices, yakni bisa digambarkan masyarakat sebagai rent-seeking society. Dimana elit yang terpilih merupakan policy instrument yang harus memperjuangkan kepentingan aktor-aktor tersebut. Padangan ini merupakan kelanjutan dari pandangan pluralis, dan perbedaan hanya terletak pada peran negara. Peran negara dalam pandangan ini bukanlah sebagai arbitrator atau hakim yang netral dalam proses formulasi kebijakan sebagaimana dikonsepsikan pandangan pluralis (Gabriel Lele, 2004: 244).
            Selanjutnya, pendekatan yang mengatasnamakan aktor rasional sebagai pembuat kebijakan adalah bahwa para pembuat kebijakan negara itu bersumber dari aktor-aktor rasional yang mampu melakukan kalkulasi untung-rugi, mengakumulasi informasi, menilai sejumlah alternatif yang tersedia, serta membuat pilihan yang rasional, yakni para birokrasi atau pembuat kebijakan di pemprop DKI Jakarta yang membuat kebijakan berdasarkan atas pendekatan rasional komprehensif tanpa berinisiasi memberi peluang kepada masyarakat luas tentunya.
            Pendekatan politik birokratik oleh Graham Allison (1971), melihat bahwa kebijakan publik merupakan hasil kompetisi dari berbagai entitas atau departemen yang ada dalam suatu negara dengan lembaga-lembaga negara sebagai aktor utamanya yang terikat oleh konteks, peran, kepentingan dan kapasitas organisasionalnya. Sedangkan pendekatan dari kepentingan negara pada dasarnya merupakan respon terhadap pendekatan kelas. Negara dianggap sebagai aktor otonom yang memiliki kepentingan sendiri. Dengan demikian, negara mampu memformulasikan agenda publik secara independen serta merumuskan alternatif solusi atas agenda-agenda tersebut. (Gabriel Lele, 2004: 245).

E.     Evaluasi Kebijakan Larangan Merokok
Evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan. Evaluasi sebuah kebijakan publik tentunya melibatkan berbagai pihak, diantaranya masyarakat sebagai objek dari pembangunan. Suatu kebijakan atau program telah mencapai tingkat kinerja yang bermakna, yang berarti bahwa masalah-masalah kebijakan dibuat jelas atau diatasi. Masyarakatlah yang berhadapan langsung dengan pelayanan yang disediakan oleh pemerintah.
Birokrasi, baik dalam berbagai jabatan pemerintah turut serta dalam memfasilitasi pelayanan publik tersebut, agar sesuai dengan yang diharapkan, yakni efektif, efisien, dan accountable. Evaluasi kebijakan seringkali dianggap sebagai tahap akhir penutup perumusan kebijakan,  padahal dalam mengevaluasi akan biasa ditemukan kesukaran. Masyarakat pada dasarnya menginginkan perumusan kebijakan yang secara umum demokratis dan juga arif seringkali menimbulkan kontradiktif. Evaluasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan yang benar-benar dihasilkan. Jadi ini membantu pengambilan kebijakan pada tahap penilaian kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan.
Evaluasi tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah telah terselesaikan, tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali masalah.  Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan. Pertama, dan yang terpenting, evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik. Dalam hal ini, evaluasi mengungkapkan seberapa jauh tujuan-tujuan tertentu dan target tertentu telah dicapai. Peran birokrasi dalam evaluasi kebijakan publik adalah dengan diterimanya setiap ada aduan dari rakyat apabila sebuah kebijakan atau program pemerintah dinilai menyeleweng dari kepentingan rakyat atau tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh rakyat. Di dalam keputusan perda Jakarta mengenai larangan merokok di tempat umum memerlukan evaluasi apakah memang tepat sasaran ataukah tidak. Adapun formulasi kebijakan yang diambil dalam pembuatan Perda ini adalah model teknokratis rasional yang artinya mereduksi kebijakan publik sebagai proses dan hasil kerja teknik. Dimana formulasi kebijakan ini hanya dipercayakan kepada mereka yang menguasai (Pemprop DKI) yang menguasai pengetahuan dan kemampuan yang lebih dan mampu untuk mengatasi permasalahan atas rokok ini, tanpa memandang perlu memediasi antara masyarakat, LSM, pengusaha dan pihak-pihak yang nantinya akan terkena imbas dari kebijakan ini.

F.     Kesimpulan
Dari hasil pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa birokrasi dan kebijakan public memiliki kaitan erat dan tak terpisahkan. Peran birokrasi dalam pembentukan kebijakan public adalah sebagai perantara atau kendaraan yang mengantarkan masalah-masalah public untuk diolah menjadi kebijakan public sekaligus menjadi pelaksana dan pengawas kebijakan public. Birokrasi memiliki andil dalam setiap tahap penyusunan kebijakan public yang di setiap tahap tersebut akan berbeda-beda peranannya. Paling tidak para birokrasi ini melahirkan suatu kebijakan berlandaskan atas pendekatan yang rasional komprehensif dimana mereka tidak membuka ruang yang lebar untuk inisiasi dari kebijakan kawasan dilarang merokok tersebut.
Untuk itu penulis merasa perlu memberikan tambahan terhadap implementasi dari kebijakan ini bahwa ternyata pembuatan kebijakan ini adalah hasil dari berjalannya fungsi politik yang merupakan fungsi pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Sedangkan fungi administratif adalah fungsi pemerintah sebagai pelaksana kebijakan. Oleh karena itu, pemerintah memiliki kekuatan diskretif (discretionary power) dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan tersebut dan sekali lagi para aktor lain (masyarakat, LSM, para pengusaha) tidak banyak dilibatkan. Maka dari makalah ini semoga menggugah para aktor untuk terlibat langsung dalam proses revisi kebijakan ini nantinya dan paling tidak sekarang mereka harus memainkan peran pada pengawasan dalam pelaksanaan kebijakan ini.

Daftar Bacaan
            Boeree, George. 2008. Personality Theories: Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia. Yogyakarta: Prismasophie.    
            Lele, Gabriel, dkk. 2004. Menembus Ortodoksi Kajian Kebijakan Publik. Fisipol UGM; Yogyakarta.
            N, Dunn, William. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publlik. Gadjah Mada University Press; Yogyakarta
            Winarno, Budi. 1989. Teori Kebijakan Publik. PAU Universitas Gadjah Mada; Yogyakarta.
            (http://mandorkawat2009.wordpress.com/2009/09/22/merokok-salah-satu-unsur-pencemar-lingkungan-membahayakan-kesehatan-manusia-2/).
            (http://indotc1.blogspot.com/2007/06/lumpuh-larangan-merokok-di-tempat-umum.html).

1 komentar:

  1. saya meminta izin dari bapak untuk menggunakan tulisan di atas sebagai salahsatu acuan saya dalam mengerjakan tugas yang saya terima. terimakasih sebelumnya.

    BalasHapus