Minggu, 13 Februari 2011

Weak State dan Portal


WEAK STATE
PORTAL DAN JASA KEAMANAN (SECURITY)
PASCA KERUSUHAN MEI 1998

Prolog
            Tulisan ini mencoba memahami realitas yang terjadi di masyarakat, dimana tingkat kepercayaan terhadap legitimasi pemerintahan dan beberapa lembaga negara yang menyangkut keamanan, hukum, ekonomi dan kesejahteraan sosial ternyata tidak dirasakan oleh masyarakat dan terlihat semakin merosot. Untuk itu judul di atas penting dibahas oleh penulis, dan dalam hal ini penulis melihat kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yakni dengan semakin banyaknya pembuatan portal (penutup jalan) dan pengadaan jasa keamanan (penjaga ataupun alat keamanan), yang mengindikasikan bahwa negara semakin lemah dalam hal pemenuhan keamanan terhadap masyarakat, yakni dimulai pada saat kerusuhan Mei 1998 dan sampai sekarang ini. Hal ini jelas terlihat karena pada kerusuhan Mei 1998 warga mengalami trauma yang berkepanjangan sehingga mereka membuat portal dan pengadaan jasa keamanan untuk menghindari masuknya perusuh yang terus meningkat pada saat itu. Dan sekarang dapat kita lihat juga adanya tingkat kriminalitas yang semakin meningkat dengan banyaknya pencurian, perampokan, pembunuhan dan terlebih terorisme di sekitar masyarakat (perumahan), sehingga masyarakat perlu menghadirkan lembaga (institusi) yang memberikan rasa aman kepada mereka. Karena mereka memandang bahwa negara tidak dapat memenuhi pelayanan keamanan sebagai salah satu fungsinya, yakni memberikan political goods kepada masyarakat. Dan dalam hal ini penulis juga melihat negara semakin lemah dalam hal pemberian kesejahteraan sosial lewat pengadaan lapangan pekerjaan yang dirasakan masyarakat semakin tidak terpenuhi.
            Berbicara mengenai realitas, maka realitas itu dapat dimaknai sebagai suatu fenomena yang terlihat jelas dan sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Dimana ada peristiwa yang menunjukkan suatu keadaan yang secara sadar dirasakan, dan adapula tidak sadar kita rasakan dan menjadi rutinitas dalam keseharian kita. Sadar atau tidak sadar akan keadaan tersebut ternyata kita juga tengah mengalami suatu fenomena yang sedang menggejala di masyarakat, yakni pentingnya suatu pelayanan publik yang sebenarnya harus diberikan oleh negara dalam hal pelayanan keamanan dan pemenuhan political goods bagi setiap warga negara. Negara harus menyediakan political goods yang dibutuhkan masyarakat, seperti keamanan fisik, institusi politik yang legitimate, manajemen ekonomi dan kesejahteraan sosial (Robert Jackson, 1990).
            Adapun political goods ini dapat dimaknai sebagai suatu “alat politik” dalam pemenuhan yang diberikan oleh suatu negara terhadap warga negaranya. Adapun alat politik dapat berupa memberikan ruang yang bebas untuk ikut serta dalam proses politik yang sedang terjadi, mendapatkan pelayanan dan jaminan keamanan tanpa melihat status dan jabatan, ikut andil secara terbuka dalam hal persaingan pemenuhan ekonomi dan mendapatkan kebutuhan kesejahteraan sosial lainnya. Seperti kesehatan, pekerjaan, pendidikan, infrastruktur dan yang terpenting adalah negara mampu memberikan political goods dan pelayanan yang maksimal pada setiap individu dan warga negaranya.
            Akan tetapi, realitas dalam pemenuhan political goods yang didambakan oleh setiap warga negara ternyata hanya sebagai sebuah kebohongan yang tidak kunjung terpenuhi. Dimana terjadi suatu keadaan yang menunjukkan bahwa lemahnya negara dalam hal pemenuhan political goods yang semakin merosot. Dengan semakin marakanya tindakan kriminal seperti, perampokan, pencurian, pembunuhan, baik dilakukan preman, kelompok masyarakat maupun pihak yang diklaim sebagai teroris dan juga trauma warga yang terjadi pada saat kerusuhan Mei 1998 ternyata membuat warga semakin tidak percaya terhadap lembaga institusi negara yang memberi pelayanan keamanan malah semakin membuat kerusuhan. Hal inilah yang terjadi dan menunjukan bahwa negara memang sedang melemah. Kurangnya lapangan pekerjaan ditambah lagi dengan semakin meningkatnya kebutuhan hidup merupakan salah satu penunjang bahwa negara tidak dapat memenuhi political goods dalam hal kesejahteraan sosial, yakni mereka tidak mendapat pekerjaan dan akhirnya berujung kepada perbuatan kriminal karena semakin terhimpitnya keadaan ekonomi yang mengharuskan mereka berbuat demikian bahkan yang lebih ekstrem mereka berani untuk melakukan aksi-aksi pengeboman di berbagai tempat.
            Alangkah disayangkan negara sebagai pemberi jaminan keamanan dan juga menciptakan kesejahteraan sosial melalui pemberian lapangan pekerjaan ternyata tidak dapat diberikan oleh negara. Dan dalam hal ini negara ternyata sekali lagi dapat diidentikkan dengan sebutan negara lemah (weak state). Weak state yang dimaksud adalah negara semakin merosot dan bahkan tidak dapat memenuhi political goods kepada warga negaranya. Dengan semakin banyaknya kasus kriminal yang tidak kunjung bisa teratasi dan semakin adanya ketakutan akan timbulnya pihak-pihak yang diklaim sebagai teroris yang berada disekitar mereka. Hal inilah yang pada akhirnya menjadikan masyarakat semakin yakin bahwa pemenuhan akan political goods itu tidak dapat dihadirkan lagi oleh negara. Sehingga mereka bertindak sendiri dalam hal pemberian keamanan dengan menghadirkan portal dan jasa keamanan (penjaga atau alat keamanan) sebagai salah satu fungsi negara yang tidak dapat terpenuhi. Portal dan jasa keamanan ini ternyata telah memberikan rasa aman, nyaman dan tentram kepada mereka, sehingga mereka tanpa sadar tidak merasakan bahwa tidak hadirnya fungsi negara sebagai pemberi pelayanan keamanan kepada setiap masyarakat dan warga negara. Dengan fenomena yang terjadi sekarang ini yakni maraknya masyarakat yang berada di perkotaan dengan membuat portal “penutup jalan” dan adanya jasa keamanan yang seharusnya disediakan oleh negara melalui lingkup (scope) dan fungsi negara serta kekuatan (strength) negara dalam hal pelayanan keamanan, kontrol atas wilayah dan penegakan hukum pada setiap warga negara ternyata dapat dikatakan negara semakin lama semakin melemah (weak state).
            Dari pemaparan di atas, maka penulis merasa perlu untuk melihat negara dalam hal pemenuhan political goods kepada masyarakat khususnya di Indonesia sudah berjalan atau tidak. Sehingga kesimpulan yang penulis dapatkan nantinya dapat menjelaskan bahwa negara dalam keadaan lemah (weak state) atau kuat (strong state). Dengan titik fokus pembahasan pada pelayanan keamanan dan kesejahteraan sosial yang diberikan negara kepada masyarakat. Dengan kasus semakin maraknya masyarakat menghadirkan portal dan jasa keamanan sendiri dalam setiap perumahan atau gedung sebagai bentuk rasa keprihatinan terhadap negara yang tidak mampu memenuhi political goods .

Analisis Teori dan Kasus
            Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations (1766), memberikan kriteria tentang kewajiban sebuah negara. Pertama, negara adalah penjamin kebebasan masyarakatnya dalam menghadapi agregasi dan perbudakan dari luar. Kedua, kewajiban negara untuk melindungi setiap anggota masyarakatnya. Ketiga, berkewajiban mendirikan dan menyediakan pekerjaan publik serta institusi publik yang bermanfaat untuk masyarakat luas. Disamping itu tanggung jawab akan kepentingan umum seperti jalan, jembatan, saluran air, pelabuhan negara harus mampu menyediakannya, dan juga pemenuhan akan pendidikan dan kesehatan publik. (Osbin Samosir, dkk, 2009: 94)
            Dalam hal ini, Francis Fukyama juga melihat negara sebagai suatu unit pemerintahan dan satu-satunya pemegang otoritas pemaksa dalam masyarakat. Sehingga dalam pandangannya negara memiliki dua dimensi yang berbeda, yaitu kekuatannya (strength) dan cakupan perannanya (scope). Negara itu bisa kuat (strong state) karena dia mampu melahirkan kebijakan-kebijakan dan aturan-aturan yang ditaati oleh masyarakat tanpa perlu menebarkan ketakutan, kecemasan, paksaan yang berlebihan. Berbeda dengan negara lemah (weak state) dimana ada suatu kekacauaan yang berujung pada anarki dan menimbulkan konflik, yakni dengan tidak adanya kesadaran bahwa aturan-aturan hukum hanya menjadi permainan kata-kata dalam undang-undang, korupsi merajalela, adanya gerakan separatisme, kerusuhan rasial dan etnis, dan semakin adanya suatu otoritas dari lembaga yang tidak berfungsi dan mengakibatkan negara dalam keadaan lemah (weak state). (Rizal Mallarangeng, 2002: xxx-xxxi)
            Pemberian label strong states, Weak States ini adalah sebuah label yang diberikan kepada sebuah negara untuk melihat sejauhmana negara tersebut mampu untuk menyediakan political goods yang terbagi dalam sebuah kosep governability. Governability yang dimaksud adalah sebuah kapasitas atau kemampuan sebuah negara bangsa untuk mengelola maupun menyediakan barang-barang politik (political goods). Dalam hal ini mengutip dari tulisan Pratikno dan Cornelis Lay dalam buku Negara Dalam Pilkada Collaps State ke Weak State, yang termasuk kedalam aspek governability dalam penyediaan barang-barang politik, yaitu: tata hukum sebagai standar perilaku yang meregulasi interaksi penduduk, terciptanya pelayanan kesehatan, pendidikan, infrastruktur, sistem uang yang stabil, kesempatan ekonomi dan lingkungan bisnis yang kondusif, dan terciptanya pengawasan dan pengaturan lingkungan. (Gregorius Sahdan, dkk, 2008: 75)
            Selanjutnya Francis Fukuyama (2004, 92) mengungkapkan bahwa setelah Perang Dingin berakhir, dalam hal ini negara-negara yang teridentifikasi sebagai negara lemah telah menjadi masalah utama dalam tata dunia baru. Adapun pendapat ini didasarkan pada kenyataan bahwa perkembangan globalisasi memunculkan fenomena transnasional yang tidak semata-mata membawa dampak positif bagi sebuah negara seperti arus modal asing, investasi, perdagangan, maupun teknologi komunikasi yang semakin luas, namun fenomena ini membawa serta aktivitas-aktivitas kriminal seperti terorisme internasional, proliferasi senjata, organisasi kejahatan, bahkan global pandemic seperti flu burung, HIV/AIDS. Masalah-masalah ini menjadi sebuah tantangan besar bagi sebuah negara. Dan secara umumnya negara-negara yang terkategori memasuki fase-fase weak state ini adalah negara-negara yang memiliki keanekaragaman suku, agama, atau adanya tekanan dari masyarakat yang meningkat ke permukaan yang menjelma sebagai konflik dan kemampuan suatu negara untuk menyediakan sarana-sarana political goods masih terasa kurang, bahkan nyaris tidak terlihat.
            Dalam hal ini Robert I Rotberg melihat suatu negara itu lemah dilihat dari beberapa indikator, sesuai dengan tabel di bawah ini.
Weak State
Indikator
Dalam hal Politik
-    Negara telah digerogoti oleh keburukan internal
-    Kurangnya manajemen dalam pemerintahan
-    Tingkat korupsi yang tinggi
-    Hanya memenuhi sedikit tuntutan politik.
Dalam aspek Hukum
-    Meningkatnya pelanggaran hukum
-    Bersifat otokrasi
Dalam hal Ekonomi
-    GDP perkapita sedang mengalami penurunan
-    Pelayanan publik (prasarana) dalam melayani masyarakat tidak terpeuhi dengan baik.
Dalam hal Konflik
-    Negara belum mempunyai good management conflict politics, baik ditingkat pusat sampai daerah
-    Munculnya kekerasan internal yang bercirikan suku, agama, bahasa, dan terkadang disebabkan karena depresi dari masyarakat.
                Sumber: Robert I Rotberg, The New Nature of Nation-State-Failure: The Washington Quarterly, vol 25, 2002. (Gregorius Sahdan, dkk, 2008: 76-77)
           
            Oleh karena itu, masalah weak state ini menjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut karena kapasitas sebuah negara dan kemauan negara untuk menjalankan fungsi strategisnya sering kali minimal dan bahkan tidak dapat terpenuhi, yakni terkadang bisa memenuhi disatu sisi dan disisi lain tidak dapat terpenuhi sama sekali. Pemenuhan itu berupa menyediakan political goods yang dibutuhkan masyarakat, dimana adanya keamanan fisik, institusi politik yang legitimate, manajemen ekonomi dan kesejahteraan sosial. Bahkan beberapa negara terutama di negara-negara berkembang terjadi berbagai konflik internal yang berkepanjangan. Instabilitas di dalam sebuah negara menjadikan sumber daya dan perhatian negara habis untuk menyelesaikannya. Dan hal inilah yang membuka peluang bagi berbagai bentuk kejahatan transnasional untuk memanfaatkan kelemahan negara untuk tumbuh subur di dalamnya. Keberadaan aktivitas kejahatan transnasional ini menjadikan persoalan yang semula hanya melibatkan satu negara dalam mengatasi krisis lingkup domestiknya menjadi persoalan yang lebih besar karena memungkinkan munculnya ancaman baru yang lebih mengglobal dan terdistribusi ke wilayah lain. (http://publikasi.umy.ac.id/index.php/hi/article/viewFile/323/1300).
            Kecemasan dan ketidakpastian memang senantiasa menjadi bayang-bayang yang menakutkan bagi kita, karena tingkat kepercayaan masyarakat terhadap legitimasi pemerintahan dan beberapa lembaga negara, terutama yang menyangkut politik dan hukum, terus merosot. Dimana Rotberg dalam (The New Nature of Nation-State Failure, 2002) menyebutkan sindrom negara lemah dan gagal, antara lain, berupa keamanan rakyat tidak bisa dijaga konflik etnis dan agama tak kunjung usai, korupsi merajalela, legitimasi negara yang kian terpuruk, ketidakberdayaan pemerintah pusat dalam menghadapi masalah dalam negeri, serta ketidakmampuan negara dalam menghadapi intervensi dan tekanan (negara) asing.
            Keamanan itu sendiri berasal dari kata ”security” yakni dari bahasa Latin “se-curus”. “se” mempunyai arti “without” (tanpa/tidak ada) dan “curus” memiliki arti “uneasiness” (kegelisahan/kondisi tidak tenang). Maka, “security” pada dasarnya  memiliki arti terbebas dari rasa tidak tenang, atau sebuah situasi yang damai tanpa berbagai resiko atau ancaman. Kata “security” dalam bahasa Inggris memiliki pengertian yang luas termasuk “to feel safe” (merasa aman) dan “to be protected” (terlindungi) dan digunakan untuk menggambarkan sebuah situasi di mana tanpa resiko dan kekhawatiran bagi setiap warga negara yang mendiami suatu wilayah.(http://publikasi.umy.ac.id/index.php/hi/article/viewFile/323/1300).
            Adapun dasar awal pembuatan portal dan pengadaan jasa keamanan ini berasal dari trauma masyarakat dengan kerusuhan Mei 1998. Dimana tuntutan yang dilakukan oleh gelombang massa yang menuntut Soeharto untuk segera turun, dan menjadikan keadaan pada saat itu mencekam dan tidak terkendali. Sehingga banyak terjadi konflik antara massa dan aparat keamanan yang menimbulkan korban jiwa. Kerusuhan itupun menyebabkan pelemparan, pembakaran bangunan maupun mobil, dan bahkan penjarahan yang menyebabkan konflik yang awalnya bersifat politis berujung kepada konflik rasialis yang hampir diseluruh dareah. Pembangunan portal ini dilakukan di perumahan pasca kerusuhan 1998 adalah untuk mencegah masuknya massa perusuh.
            Kejadian itu telah  menyebabkan trauma yang mendalam bagi warga dan khususnya korban itu sendiri, sehingga mereka merubah berbagai wajah bangunan dan pertokoan dan wilayah perumahan, tampak mengalami perubahan. Perubahan itu bisa ditandai dengan berubahnya wajah bangunan itu menjadi bangunan yang lebih rapat, tertutup dan dihiasi oleh terali-terali besi. Bangunan yang secara arsitektur dulunya terbuka dan berwarna transparan tersebut, kini seolah-olah menutup dan “melindungi diri” dari sesuatu yang mengancam dari luar.
            Wajah lain yang tampak adalah mulai banyak hadirnya pintu dan portal di mulut gang-gang kampung. Dalam literatur studi perkotaan, yang disebut kampung adalah permukiman di belakang jalan raya dan bangunan-bangunan besar. Kampung juga menjadi simbol permukiman ”pribumi” (dalam konteks post colonial), namun juga kampung sering disebut sebagai hantu, sebagai wilayah yang ”menakutkan” dan dianggap ”mengganggu” pemandangan kota. Munculnya pintu dan portal di kampung-kampung ini juga menunjukkan bahwa seolah-olah ada sesuatu yang ”mengancam” dari luar, yang akan menyerang kampung itu. Pintu dan portal itu kebanyakan terbuat dari besi, dan di beberapa tempat dilengkapi oleh pos jaga/pos satpam, dan pada jam-jam tertentu bahkan ditutup rapat-rapat, sehingga tak memungkinkan orang bebas keluar masuk. Tak hanya perumahan elite tampaknya, namun kampung pun seolah perlu dijaga. Jika ada yang masuk dan keluar, semuanya bisa terpantau, terawasi dan terkontrol. Hal ini merupakan suatu fungsi yang seharusnya diberikan oleh negara dalam pemenuhannya terhadap pelyanan keamanan pada setiap masyarakat. (http://tiyoe.wordpress.com/2009/05/24/solo-portai-besi-dan-malam-paling-sunyi-kerusuhan-mei-1998-di-solo/)
            Bagi sebagian besar manusia di bumi sekarang, perasaan akan ketidakamanan muncul lebih mengkhawatirkan terhadap kehidupan sehari-hari dari pada rasa takut akan berbagai kejadian-kejadian di dunia. Keamanan akan pekerjaan, keamanan pendapatan, keamanan akan keseharian, keamanan dari kejahatan, semua ini menjadi perhatian yang lebih utama dari keamanan manusia di seluruh dunia.
            Rasa aman menjadi sesuatu yang mahal dan berharga di negeri ini, Orang-orang “nekad” melakukan apa saja asalkan mendapatkan sebutir rasa aman dalam dirinya. Bahkan dengan tidak segan-segan memangkas dan mengurangi hak orang lain. Semuanya demi kebutuhan akan rasa aman (safety and security needs). Rasa aman disini merupakan suatu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh negara bila merujuk kriteria kewajiban negara Adam Smith yang mengharuskan negara memberi perlindungan dan rasa aman kepada setiap warga negaranya.
            Aman dalam pengertian disini dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, aman dari sisi objektif, kondisi real yang berhubungan dengan tingkat kejahatan (kriminalitas) yang terjadi di suatu tempat. Aman disini nyata, dia berhubungan dengan crime rate dan bagaimana penyelesaian/pemecahan dari masalah kriminalitas itu. Ukurannya adalah data, yakni bisa data yang didapat dari kepolisian tentang tingkat kejahatan suatu daerah, bisa dengan tingkat penyelesaian/pengungkapan setiap kasus kejahatan yang dilakukan oleh pihak berwajib. Dan bisa juga dengan membandingkan tingkat kejahatan dengan kota-kota besar lain di dalam atau luar negeri. Semua menggunakan data. Jadi jangan heran kalau ketika kasus bom terorisme masih menjadi hantu di negeri ini, maka beberapa negara luar memberikan travel warning bagi warga negara mereka yang akan berkunjung ke Indonesia. Kedua, aman secara subyektif, aman diartikan sebagai persepsi individu-individu [dalam masyarakat] terhadap kondisi keamanan di lingkungan mereka, baik dari lingkungan minor (keluarga, RT/RW) sampai major (negara dan dunia). Aman adalah sesuatu yang dipersepsikan dan dinilai. Terkadang tidak berdasarkan data obyektif, tetapi hanya menggunakan pengalaman-pengalaman empiris belaka, misalnya melalui pengalaman diri sendiri dengan kasus kejahatan, berita kriminal yang ada di media massa setiap hari, atau melalui obrolan-obrolan dengan orang lain dan terkadang menjadi paranoid dalam menilai sesuatu.
            Trauma psikologis akibat kerusuhan Mei 1998 tidak hanya terjadi pada mereka yang benar-benar menjadi korban, baik itu korban meninggal, cacat, ataupun kehilangan kerabat dan harta benda. Trauma itu terjadi hampir pada semua lapisan masyarakat berupa berkurangnya perasaan aman dan terkadang “nekad” melakukan apa saja asalkan mendapatkan sebutir rasa aman dalam dirinya. Hal ini terbukti Sebelum kerusuhan Mei, adalah suatu hal yang sangat jarang bahkan hampir tidak ada adanya portal-portal, barikade-barikade kawat berduri, bahkan penutupan jalan. Tetapi setelah “reformasi”, portal dan barikade, khususnya di kompleks-kompleks perumahan, menjadi sesuatu yang amat sangat lumrah. Saking lumrahnya sampai oleh beberapa orang dianggap sebagai suatu kewajaran dan juga “kebenaran”.
            Merujuk kepada kasus-kasus yang terjadi di Indonesia dimana tingkat kriminalitas semakin meningkat dari tahun 2004 angka kriminal 220.886 dan meningkat pada tahun 2005 sebesar 256.431 kasus. Sedangkan pada tahun 2009 sebanyak 344.942 kasus, sementara gangguan keamanan dan ketertiban sebanyak 11.638 kasus dan hanya mampu diselesaikan 65 persen dari kasus yang ditangani oleh salah satu lembaga negara yang berwenang menyediakan pelayanan keamanan dan political goods yang harus diberikan oleh negara melalui aspek hukum, ekonomi dan konflik yang tidak jarang menghadirkan suatu ketegangan baru yang mengakibatkan pada melemahnya fungsi negara dalam pemenuhan political goods. (http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2010/12/29/brk,20101229302416,id.ht).
            Untuk itulah ternyata pengadaan jasa keamanan ini telah menjadi suatu bisnis yang menguntungkan disusul dengan tingginya kekhawatiran para pengguna jasa terhadap potensi teror dan aksi kriminal. Adapun penyedia jasa keamanan di Indonesia semakin dirasa perlu dan harus dihadirkan karena didorong oleh kecenderungan orang untuk meningkatkan keamanan seperti penggunaan standar operasional keamanan pada sebagian besar gedung, serta beragam fasilitas pribadi ataupun publik. Jasa keamanan ini bisa disebut sebagai penyedia penjaga dan menyediakan alat keamanan, yaitu sekarang mulai digunakan dalam manajemen keamanan di Indonesia antara lain sistem alarm, CCTV, access control, guard patrol, dan mesin XRay detector bom narkotik. mengenai alat keamanan yang paling banyak diminati pada saat ini adalah karena sangat aman dalam mencegah aksi terorisme bom yang dilakukan oleh para teroris. Hal inilah yang dirasa semakin menghilangkan kekuatannya (strength) dan cakupan perannanya (scope) dari sebuah negara, sehingga negara tidak lagi mennjamin pelayanan keamanan dan memberi pemenuhan political goods seperti yang di ungkapkan oleh Rotberg bahwa keamanan rakyat tidak bisa dijaga lagi sehingga menimbulkan konflik etnis dan agama  dan tak kunjung usai, korupsi merajalela, legitimasi negara yang kian terpuruk, ketidakberdayaan pemerintah pusat dalam menghadapi masalah dalam negeri, serta ketidakmampuan negara dalam menghadapi intervensi dan tekanan (negara) asing.
            Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa ide pembuatan portal tetap dijalankan dan pengadaan jasa keamanan (security) baik penjaga ataupun alat keamanan sebagai pemberi rasa aman kepada masyarakat dan merupakan bentuk kekecewaan terhadap negara yang tidak dapat memenuhi political goods pada masyarakat sehingga negara dapat dikategorikan sebagai negara lemah (weak state).

Penutup
            Adapun yang ingin penulis sampaikan disini bahwa ternyata portal dan pengadaan jasa keamanan pasca kerusuhan 1998 dimana trauma yang terjadi pada warga negara yang mengalami ataupun lewat media,  sehingga mereka bersepakat untuk menghadirkan portal dan jasa keamanan. Hal ini menurut penulis ternyata telah mengindikasikan bahwa negara dalam keadaaan weak state. Dapat kita lihat pada lingkup kekuatannya (strength) dan cakupan perannanya (scope) yang seharusnya negara menyediakan pemenuhan pada aspek politik, hukum, ekonomi dan konflik dalam hal ini salah satunya tidak dapat terpenuhi, yakni aspek keamanan, hukum, ekonomi dan kesejahteraan sosial yang berimbas kepada aspek konflik antar rasialitas yang terjadi diberbagai daerah. Dimana negara tidak mampu memberi pelayanan keamanan (petugas dan alat keamanan) pada masyarakat dan tidak mampu memberikan lapangan pekerjaan sebagai bukti bahwa tingkat kriminalitas yang terus meningkat tanpa diimbangi dengan pemenuhan lapangan pekerjaan yang seharusnya diberikan negara.
             
Daftar Pustaka

            Fukuyama Francis, 2004. State-Building: Governance and World Order in the 21st Century Ithaca, N.Y.: Cornell University Press. London.
            Jackson Robert, 1990. QuasiState : Sovereignty, International Relations and The Third World, Cambridge. CUP.
            Mallarangeng Rizal, 2002. Mendobrak sentralisme ekonomi: Indonesia, 1986-1992. Pustaka Gramedia; Jakarta.
            Rotberg, Robert I, 2002. The New Nature of Nation-State Failure. Volume 25, The Washington Quarterly.
            Sahdan, Gregorius dkk, 2008. Negara Dalam Pilkada Collaps State ke Weak State. IPD Press; Yogyakarta.
            Samosir Osbin, dkk, 2009. Negara minus nurani: esai-esai kritis kebijakan publik. Buku Kompas; Jakarta.
Number 3, Summer, pp. 85-96 (Article); The Washington Quarterly.
            (http://publikasi.umy.ac.id/index.php/hi/article/viewFile/323/1300) diunduh pada tanggal 09/01/2011.
            (http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2010/12/29/brk,20101229302416,id.ht). Di unduh pada tanggal 10/01/2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar